Mengenal Sosok Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia

Hari Film Nasional tahun 2022 mengambil kegiatan Pameran bertajuk “Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia”

 

Siapa yang belum mengenal sosok Usmar Ismail? Tokoh legendaris ini merupakan sosok pahlawan dalam dunia perfilman sebab ia telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional yang di anugerahkan pada November 2021 lalu, dan ia dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Dalam rangka Hari Film Nasional yang juga bertepatan hadir pada tanggal 30 Maret mendatang, sebuah acara spesial akan digelar untuk memperingati perjuangan Umar Ismail di dunia perfilman Indonesia.

Acara nya berupa kegiatan Pameran bertajuk “Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia”, kegiatan ini telah berlangsung sejak 28 Maret lalu dan akan berakhir pada 28 April mendatang. Pameran ini akan menampilkan artefak peninggalan Usmar Ismail dalam bentuk digital maupun fisik, mulai dari naskah film, skenario asli, poster film, foto-foto dalam adegan film, hingga foto keluarga H. Usmar Ismail. Acara tersebut berlangsung secara elegan di Dia.Lo.Gue Artspace, Jakarta.

Pameran Usmar Ismail © Dokumentasi Museum Penerangan

Pengunjung yang hadir juga akan diperlihatkan koleksi artefak dari Museum Penerangan yang akan memperlihatkan proyektor film setinggi 2 meter beserta patung Usmar Ismail yang dapat dinikmati oleh pengunjung yang hadir.

Dalam rangka menuju Hari Film Nasional, dan tema yang diangkat adalah sosok Bapak Perfilman Indonesia. Mari kita bahas lebih dalam perjuangan Pahlawan Nasional kita Usmar Ismail, dalam kegiatannya di dunia film khususnya perfilman Indonesia.

Sosok Usmar Ismail

Usmar Ismail merupakan lelaki kelahiran Padang, 20 Maret 1921. Ia adalah anak dari Datuk Tumenggung Ismail yang berprofesi sebagai guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan lahir dari ibu bernama Siti Fatimah. Usmar juga memliki seorang kaka yang juga terjun ke dunia sastra, ia bernama Dr. Abu Hanifah atau yang dikenal dengan nama pena, El Hakim.

© Studio Antelope

Dalam perjalanan nya menempuh pendidikan, Usmar memulainya di Hollandsch Indlandsche School Batusangkar, yang merupakan sekolah pada zaman penjajahan Belanda. Kemudian melanjutkannya di MULO Simpang Haru Padang, yang merupakan Sekolah Menengah Pertama pada pemerintahan Belanda juga. Usmar kemudian melanjutkan nya ke AMS-A Yogyakarta atau yang sekarang dikenal SMA Negeri 1 Yogyakarta.

Setelah tamat dari AMS, Usmar kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat dan kemudian memperoleh gelar B.A di Bidang Sinematografi sekitar tahun 1952. Sebenarnya, bakat sastranya sendiri telah terlihat sejak ia duduk di bangku SMP, dan setelah duduk di bangku SMA Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra, ia semakin memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya sambil mengirimkan karangannya ke berbagai majalah.

Karir dari Masa ke Masa

Perjalanan menuntut ilmunya, membawanya dalam menemukan bakat alaminya sebagai seorang pengarah film. Bakatnya kian berkembang saat ia bekerja di Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang. Saat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya memilih untuk bekerja sama untuk mementaskan drama.

Di tahun 1943, Usmar mendirikan Sandiwara Penggemar “Maya” dan menjadi ketua dalam kelompok yang ia bentuk bersama El Hakim, Rosihin Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B Jassin dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dalam masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan mulai aktif di dunia jurnalistik di Jakarta. Bersama dua temannya, Usmar mendirikan surat kabar yang diberi nama “Rakyat”. Kemudian, untuk memperdalam bidang keredaksian dan juga kewartawanan, Usmar menjadi pendiri sekaligus redaktur harian “Patriot”, redaktur majalah bulanan “Arena” (Yogyakarta 1948), dan juga “Gelanggang” (Jakarta 1966-1967). Usmar juga pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indoensia (1946-1947).

Usmar Ismail © pnri.go.id

Di tahun 1948, ada peristiwa yang membuatnya beralih untuk mencoba hal lain, ketika menjadi wartawan Usmar pernah dijbloskan ke penjara oleh Belanda. Hal ini terkait tuduhan Usmar terlibat dalam kegiatan subversi, saat ia bekerja sebagai wartawan politik di Kantor Berita Antara dan sedang dalam kegiatan meliput perundingan Belanda – RI di Jakarta.

Setelah permasalahan selesai, Usmar kemudian mulai menaruh minatnya yang lebih serius di dunia perfilman. Dari situlah ia mulai aktif sebagai pengurus lembaga yang berkaitan dengan teater dan film. D Ia kembali mengemban banyak tugas, dan bertanggung jawab menjadi pengurus, pendiri hingga ketua.

Mulai dari menjadi ketua Badan Permusayawaratan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948), ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948), ketua Akademi Teater Nasional Indonesia Jakarta (1955-1965), dan Ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN). Usmar juga dikenal sebagai pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia bersama Djamaluddin Malik dan para pengusaha film lainnya, dan menjadi ketua sejak 1954 sampai 1965.

Selain aktif di dunia perfilman, Usmar juga pernah aktif dalam bidang politik. Ia pernah menjadi ketua umum Lembaga Seniman Muslimin Indonesia (Lesbumi tahun 1962-1969). Selain itu menjadi Pengurus Besar Nahdatul Ulama (1964-1969), dan pernah menjadi salah satu anggota DPRGR/MPRS (1966-1969).

Karyanya yang Melegenda

Setelah membahas mulai dari pendidikan hingga perjalanan karirnya, mari kita beralih ke dalam karya nya di dunia perfilman, mulai dari debut penyutradaraan nya, hingga karya-karya lainnya yang melegenda hingga ia menjadi sosok Bapak Perfilman Indonesia. Hal ini bukti bahwa, selain sebagai seorang pemimpin yang mampu membangun lembaga, Usmar adalah sosok jenius di balik film-filmnya yang fenomenal.

Film Perdana Usmar Ismail ‘Harta Karun’ © South Pacific Film

Debut penyutradaraan nya di awali dengan film berjudul ‘Harta Karun’, yang diangkat dari karya Moliere tahun 1949. Kemudian dilanjutkan pada tahun berikutnya 1950, judul filmnya adalah ‘Darah dan Doa’. Setiap tahun nya ia hampir selalu menghasilkan karya, mulai dari:

‘Enam Djam di Djogja’ (1951),

‘Terimalah Laguku’ (1952),

‘Kafedo’ (1853),

‘Lewat Djam Malam’ (1954),

‘Tamu Agung’ (1956),

‘Tiga Dara’ (1956),

‘Delapan Pendjuru Angin’ (1957),

‘Asmara Dara’ (1958),

‘Pedjuang’ (1960),

‘Amor dan Humo’ (1961),

‘Anak Perawan di Sarang Penjamun’ (1962),

‘Holiday in Bali’ (1963),

‘Anak-Anak Revolusi’ (1964),

‘Liburan Seniman’ (1965),

‘Ja, Mualim’ (1968),

‘Big Village’ (1969) dan

‘Ananda’ (1970).

Salah satu karya yang membawa namanya besar adalah ‘Pedjuang’, film ini berhasil ditayangkan di Festval Film Internasional Moskwa ke-2. Dan disebut-sebut bahwa film tersebut merupakan film pertama hasil karya anak bangsa, yang berhasil menembus layar kaca Internasional.

Usmar Ismail Bersama Siswa Akademi Teater Nasional (1960) @ Dok. Perpustakaan Nasional

Gaya-gaya perfilman Indonesia yang saat ini kita nikmati, merupakan salah satu jejak peninggalan dari karya Usmar Ismail yang telah membangun fondasi perfilman Indonesia. Usmar telah memberikan arah gayang sinema yang identic, dengan mengangkat ciri khas masyarakat Indonesia dan telah menjadi dasar bagi film legendaris lainnya setelah kepergiannya ke sang pangkuan illahi.

Selain berkarya dalam dunia film, Usmar juga pernah menggarap beberapa pentas drama seperti ‘Mutiara dari Nusa Laut’ (1943), ‘Mekar Melati’ (1945), ‘Sedih dan Gembira’ (1950). Dan karya lainnya seperti pusisi berjudul “Patung Berasap” (1950).

Penghargaan sebagai Tanda Jasa

Dengan karya dan semangat yang ia bangun selama ia berkarir, sudah pasti banyak penghargaan yang ia dapatkan baik saat masih produktif, hingga kini kita yang hanya bisa mengenang namanya. Seperti yang dimulai pada tahun 1962 ia mendapat Piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno. Kemudian di tahun 1969 ia menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI.

Setelah ia meninggal, Usmar diangkat menjadi Warga Teladan DKI dan kemudian namanya diabadikan sebagai pusat perfilman Jakarta, yaitu Pusat Perfilman H. Usmar Ismail. Tak hanya itu, sebuah ruang konser di Jakarta juga dibentuk, yakni Usmar Ismail Hall yang merupakan tempat pertunjukkan opera, musik, dan teater sesuai dengan namanya.

© Muchlis Jr – Biro Pers Sekretariat Presiden

Tak berhenti sampai disitu, 20 Maret 2018 Google secara resmi merayakan ulang tahunnya ke 97 dengan Google Doodle. Dan pada 30 Oktober 2021 lalu, Usmar Ismal dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Terakhir, Hari Film Nasional juga akan mengangkat kisah perjalanan hidupnya yang dipajang dalam pameran bertajuk “Boeng Usmar Ismail dalam Sinema Indonesia”.

Sebagai bagian dari penikmat film Indonesia saat ini, mari kita bersama-sama mengenang sosok Bapak Perfilman Indonesia yang rela membangun organisasi dan gaya perfilman Indonesia yang hingga kini masih bisa kita nikmati. Hargai karya anak bangsa lainnya, dengan dukungan kita semua mari bangkitkan dunia perfilman Indonesia setelah pandemi! Maju terus perfilman Indonesia!

Exit mobile version