Christine Hakim memulai debut aktingnya melalui film ‘Cinta Pertama’ hingga berhasil memperoleh penghargaan Piala Citra sebagai Pemeran Wanita Terbaik.
Cilers, masih dalam rangka menyambut pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI) yang ke-41, kali ini, kita akan mengenal tokoh perfilman yang merupakan seorang aktris legendaris dari didikan Maestro Perfilman Indonesia, Teguh Karya.
Selain itu, sosok ini juga aktif sebagai seorang aktivis sekaligus produser. Dirinya bahkan ikut andil dalam pembentukan Teater Populer. Dia adalah Herlina Christine Natalia Hakim atau lebih dikenal dengan Christine Hakim. Ia menjadi aktris yang sukses memperoleh Piala Citra terbanyak di sepanjang sejarah Festival Film Indonesia.
Latar Belakang dan Kisah Awal Menjadi Aktris
Christine Hakim lahir di Kuala Tungkal, Jambi, pada 25 Desember 1956 dan merupakan seorang keturunan Aceh-Minangkabau, Sumatera Barat. Christine besar di Yogyakarta. Sebelumnya, ia bercita-cita menjadi seorang arsitek dan psikolog.
Namun, cita-cita tersebut berubah setelah ia dipilih oleh Teguh Karya untuk bermain dalam film ‘Cinta Pertama’ pada tahun 1973. Peran ini mengantarkan Christine Hakim meraih Piala Citra pertama sebagai Pemeran Utama Wanita terbaik. Kesuksesan tersebut mendorong dirinya untuk yakin meneruskan karier di dunia seni peran.

Menariknya, ada kisah unik di balik kesuksesan perdana Christine dalam ajang FFI itu. Ternyata, Teguh Karya memilih dirinya sebagai salah satu pemeran yang akan membintangi film ‘Cinta Pertama’ hanya karena melihat foto-foto pemodelan di sebuah majalah. Padahal sebenarnya, foto-foto itu dilakukan untuk membantu seorang temannya.
Namun siapa sangka, hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan Teguh Karya untuk memilihnya. Christine tidak bisa menolak permintaan dari pria yang “hangat dan ramah” itu. Ia juga menyebutkan bahwa Teguh telah “menggulungnya perlahan-lahan seperti seorang nelayan.”
Teguh pernah berkata kepada Christine bahwa ia harus berdebat terlebih dahulu dengan produser film saat itu atas pemilihan Christine sebagai pemain. Produser menyatakan keprihatinan bahwa Christine “terlalu kurus dan tidak memiliki dada” atas pernyataannya tersebut, Teguh menjawab, “Apakah kita menjual sebuah film atau menjual payudara?”
Perjalanan Karier
Selepas kejadian tersebut, tahun berikutnya, Christine kembali membintangi film yang disutradarai Teguh Karya berjudul ‘Kawin Lari’. Pengalaman itu memberinya pemahaman yang lebih besar tentang akting, bahkan membuatnya seolah melihat kehidupan dari perspektif berbeda setiap kali mempelajari karakter baru yang ia perankan.
Karier Christine Hakim terus berlanjut, ia kembali berperan dalam film tahun 1976 yang berjudul ‘Sesuatu yang Indah’. Film tersebut disutradari oleh Wim Umboh dan merupakan kali pertama ia menggunakan suaranya sendiri.

Di film sebelumnya, suaranya diisi oleh Titi Qadarsih sebab dianggap terlalu berat. Tahun berikutnya, ia berperan dalam film ‘Badai Pasti Berlalu’ dan tampil pula di dalam poster serta album lagu tema film tersebut.
Pada Festival Tiga Benua Nantes 1983, ada 14 film Indonesia pada festival tersebut. Beberapa di antaranya dibintangi oleh Christine Hakim. Dua tahun kemudian, ia terpilih menjadi pengamat dalam Festival Film Cannes. Dari pengalaman itulah, ia menjalin hubungan dengan Pieere Risient yang kemudian membantunya membawa film ke Cannes.
Salah satu film yang berhasil ia tampilkan adalah ‘Tjoet Nja’ Dhien’ (1988) yang disutradarai oleh Eros Djarot. Dalam film tersebut, ia berperan sebagai pemimpin gerilya Aceh, Cut Nyak Dhien. Akhirnya, film tersebut memenangkan penghargaan pada Festival Film Cannes 1989 sebagai Film Internasional Terbaik.
Sebagai seorang pahlawan dalam perannya itu, Christine menggambarkan bahwa pengalaman tersebut merupakan sebuah “kehormatan besar” dan “sangat menantang”. Film ‘Tjoet Nja’ Dhien’ kemudian menjadi perwakilan Indonesia dalam ajang Academy Award ke-62 sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik. Namun sayangnya, film ini tidak lolos dalam proses seleksi nominasi.
Hal istimewa lainnya dari sosok Christine Hakim adalah ia juga merupakan aktris tanah air pertama yang berkesempatan bermain dalam film Hollywood berjudul ‘Eat Pray Love’. Dalam film itu, ia berperan sebagai tukang jamu bernama Wayan yang beradu akting dengan Julia Roberts.

Masih ada pula cerita unik dalam ‘Eat Pray Love’, Christine Hakim mengunjungi Bali tiga hari sebelum memulai syuting. Namun, ia belum melakukan persiapan apa-apa, ia segera bergegas untuk membaca naskah, menyesuaikan diri, dan yang paling unik, ia menyingkirkan rambutnya yang pada saat itu berwarna hijau.
Melanjutkan kariernya, Christine melebarkan sayap sebagai seorang produser. Karya perdananya adalah ‘Daun di Atas Bantal’ yang ia tampilkan di Un Certain Regard pada Festival Film Cannes 1998. Ketika memproduksi film tersebut, ia menunjuk sutradara muda berbakat Garin Nugroho. Ia juga mengambil peran utama di sana.
Sebenarnya, ada kendala selama proses produksi film ‘Daun di Atas Bantal’. Terdapat kesalahan yang akhirnya mengharuskan perombakan semua rekaman. Dalam upaya untuk memotong biaya, ia memilih untuk mengambil semua kaleng film yang terbuka lalu dikirim ke sebuah lab pengembangan.
Di sana, ia baru mengetahui bahwa kesalahan teknis ada pada kamera sehingga semua film tidak dapat digunakan. Padahal seharusnya, masalah tersebut masih bisa dideteksi dari awal jika ia mengirimkan setiap kaleng tersebut saat difilmkan.
Tidak menyerah sampai di sana, Christine Hakim kemudian melanjutkan produksi film lain berjudul ‘Pasir Berbisik’ (2001). Beruntungnya, proses produksi film itu berjalan dengan lancar. Selain memproduksi filmnya, Christine juga berperan sebagai pemeran utama. Film ‘Pasir Berbisik’ berhasil diputar dalam Festival Film Asia Deauville.

Telah sukses sebagai seorang aktris sekaligus produser, Christine menorehkan prestasi lain dengan terpilih sebagai Dewan Juri Festival Film Cannes ke–55 yang diselenggarakan di Prancis pada 15-26 Mei 2002. Ia terpilih bersama beberapa bintang film Hollywood, seperti Sharon Stone (‘Basic Instinct’), Michele Yeoh (‘James Bond: Tomorrow Never Dies’), dan sutradara David Lynch selaku ketua dewan juri pada saat itu.
Seakan belum berhenti, Christine kembali mendapatkan apresiasi untuk karyanya. Kala itu, ia menerima penghargaan khusus selama upacara pembukaan Festival Film Asia Deauville tahun 2005.
Kesuksesan di Festival Film Indonesia
Selain terkenal di luar negeri, Christine Hakim juga menjadi langganan penerima Piala Citra. Bukan hanya pada film ‘Cinta Pertama’, Christine telah mengantongi banyak kemenangan pada beberapa film, seperti ‘Sesuatu yang Indah’ (1977), ‘Pengemis dan Tukang Becak’ (1979), ‘Kerikil-Kerikil Tajam’ (1985), ‘Di Balik Kelambu’ (1983), dan ‘Tjoet Nja’ Dhien’ (1988).
Seluruh kemenangan tersebut ia raih sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik. Christine Hakim tentu saja pantas mendapatkan seluruh penghargaan berkat aktingnya yang menawan.
Di era 2000-an, ia masih mendominasi kemenangan dalam FFI. Beberapa penghargaan yang ia raih di antaranya adalah Pemeran Pendukung Wanita terbaik melalui film ‘Pendekar Tongkat Emas’ di FFI tahun 2015. Selanjutnya setahun kemudian, tahun 2016, ia menerima secara langsung Penghargaan Seumur Hidup dari Festival Film Indonesia atas kontribusinya bagi Perfilman Indonesia.

Terakhir, pada tahun 2017 dan 2020, Christine Hakim mendapatkan piala sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dalam film ‘Kartini’ dan ‘Perempuan Tanah Jahanam’.
Tidak hanya mendapatkan banyak apresiasi Piala Citra dari Festival Film Indonesia, Christine juga sukses mendapatkan penghargaan lainya dari dalam maupun luar negeri. Beberapa di antaranya adalah, Asia Pacific Film Festival, Asia Pacific Screen Awards, Indonesian Movie Actors Awards, Piala Maya, hingga Festival Film Bandung.
Pada awal tahun 2000-an, selain masih aktif menjadi langganan penerima Piala Citra, Christine mulai menjadi seorang aktivis yang berfokus pada dunia pendidikan. Setelah gempa bumi dan tsunami yang menimpa Aceh tahun 2004, ia mulai berpergian dalam berbagai perjalanan kemanusiaan ke Aceh. Ia kemudian mendirikan Christine Hakim Foundation, sebuah yayasan untuk mempromosikan pendidikan publik tentang autisme.
Kemudian, ia mendesak pemerintah untuk segera menghilangkan kesalahpahaman mengenai autisme dengan menyebutkan bahwa penolakan untuk menerima siswa autisme di sekolah umum merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Melalui hal ini, Christine terpilih sebagai duta jasa-jasa baik Indonesia untuk UNESCO. Ia telah menggunakan posisinya ini untuk mempromosikan pendidikan, mendorong reformasi pendidikan di Indonesia, dan mempromosikan program bantuan bencana di Asia tenggara.
Kehidupan Pribadi
Sebagai seorang aktris terkenal, selain membahas soal karier dan kesuksesan, bahasan tentang kehidupan pribadi seorang Christine Hakim tentunya tidak kalah menarik, meskipun sebenarnya tidak akan banyak hal yang bisa dikutip soal ini.

Christine menikah pada tahun 2000 dengan Jeoren Lezer yang merupakan seorang produser film, penulis, dan aktor asal Belanda. Mereka tinggal di Cibubur, Jakarta Timur, bersama ibu dari Christine dan putri adopsinya, Shena.
Tidak banyak informasi mengenai kehidupan pribadinya sebab Christine sangat menghindari diskusi itu kepada media. Ia juga pernah mengeluarkan statement bahwa 90 persen jurnalis tidak tertarik pada film-filmnya. Mereka hanya ingin tahu tentang kehidupan pribadinya.
Kehadiran tokoh senior dan legendaris, seperti Christine Hakim, tidak bisa dipungkiri sangatlah berpengaruh bagi perkembangan perfilman Indonesia. Berkat jasa dan kontribusinya di dunia film, Christine Hakim berhak mendapatkan penghargaan atas kerja keras yang telah diberikan.
Lalu, setelah Christine Hakim, siapakah selanjutnya aktris yang memperoleh segudang penghargaan di ajang FFI? Kita nantikan saja di acara puncak Festival Film Indonesia tahun ini yang semakin dekat ya, Cilers!