Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

‘Isn’t It Romantic’, Natalie dan Imaji Satir Romcom-nya

Juventus Wisnu by Juventus Wisnu
March 2, 2019
in Movies
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“I think I might be going crazy. I hit my head really hard, and I woke up in this alternate universe. And now I have a gay sidekick. He’s setting gay rights back by like a hundred years. And guys are looking me in the eyes.” – Natalie.

Minggu ini kita seperti berada di hari-hari Valentine. Bagaimana tidak, film romansa menguasai layar sinema Indonesia. “Dilan 1991” tayang hari Kamis ini dan langsung melewati catatan sejuta penonton dalam dua hari saja. Bioskop rata-rata menayangkan film ini di tiga layar dan setiap show-nya selalu ramai. Tapi, tahukah kamu bahwa selain Dilan ada satu lagi film romantis yang rilis?

Well, bukan di bioskop sih, tapi di layanan streaming Netflix. Judulnya adalah “Isn’t It Romantic”, yang dibintangi oleh Rebel Wilson, Liam Hemsworth, Adam Devine, dan Priyanka Chopra. Berbeda dengan Dilan, “Isn’t It Romantic” merupakan sajian yang lebih ringan karena sub-genre mereka adalah romcom yang dibawakan dengan gaya satir. Film ini mencoba untuk kembali mengangkat pamor film romcom, yang kata banyak orang pamornya sudah semakin meredup.

Natalie (Rebel Wilson), adalah seorang arsitek. Ia tinggal di apartemennya di kota New York dan bekerja selayaknya karyawan pada umumnya. Bangun pagi, siap-siap, kemudian mengarungi jalanan padat Big Apple. Sampai di kantor Natalie langsung disambut dengan segala ke-riweuh-an rekan kerja, sampai pada akhirnya meeting yang tidak sesuai harapan. Hidup terasa membosankan dan menyiksa. Tidak seindah apa yang kita tonton. Ngomongin soal tontonan, Natalie memiliki sikap tertentu terhadap film-film romcom. Baginya, itu adalah hal yang bodoh, rekaan, tidak realistis. Apa yang terjadi di dalam film romcom pasti tidak akan terjadi di dunia nyata dan segala yang dibawakannya adalah sampah.

Hingga suatu hari Nat dijambret di stasiun. Sempat melawan, Nat secara tak sengaja membentur tiang dan membuatnya jatuh tak sadarkan pingsan. Ketika Nat sadar, ia berada di sebuah rumah sakit dengan fasilitas yang bagus dan dokter yang kece. Makin bingung dirinya ketika ia keluar, Nat berada di sebuah dunia yang 180 derajat berbeda dengan yang dulu. Setelah mengalami kejadian-kejadian luar biasa anehnya, mau itu di apartemen sampai kantornya sekaligus, Nat baru paham bahwa ia sedang berada di dunia romcom! Ya, dunia dari genre film yang paling ia benci sedari kecil.

Karena tuntutan naratifnya mengandung dua dunia yang berbeda, maka paling pas untuk mengulas “Isn’t It Romantic” dari aspek sinematiknya. Sebetulnya tidak ada yang spektakuler di sini, hanya saja sutradara Todd Staruss-Schulson menampilkan penampakan yang bagus di layar, sesuai dengan tuntutan naratif, sehingga dunia baru yang dimasuki Nat berasa sangat nyata.

Yang pertama adalah pakaian. Ini merupakan hal pertama yang langsung terlihat kontras dan menunjukkan bahwa Nat kali ini bukanlah Nat yang dulu lagi. Ia seperti seorang wanita karir yang sedang berada di puncak kesuksesan. Jika di dunia sebelumnya Nat menggunakan pakaian biasa, di mana cukup terdiri dari celana jeans, tank top, dan cardigan, maka di dunia ini Nat memakai dress yang terlihat ‘chic’ dan warnanya juga tidak lagi warna-warna basic. Pakaian Nat kali ini memancarkan keceriaan dari warnanya yaitu putih, kuning, hingga merah. Tidak lupa, di salah satu pakaian Nat juga mengenakan aksesoris yaitu topi lebar yang membuatnya lebih terlihat seperti aktris Hollywood.

Yang kedua adalah set-nya. Dekorasi setting, bersama dengan kostum, dapat menentukan status sosial para pelaku ceritanya. Setting ada yang bisa dibuat untuk kalangan bawah, menengah, dan juga atas. Film betul-betul bermain dengan ini di paruh kedua. Awalnya setting untuk tempat-tempat seperti apartemen dan kantor Nat di-setting untuk kalangan menengah ke bawah. Hal ini terlihat dari mise-en-scene nya yang sempit, kemudian warnanya juga dominan warna-warna basic plus propertinya yang minim dan sederhana.

Ketika Nat terbangun setelah kepalanya terbentur, setting langsung berubah drastis! Layaknya bangsawan, tempat tinggal dan tempat kerja Nat begitu sophisticated. Setting-nya memiliki wujid yang megah, luas, terang, mewah, propertinya lengkap. Saking lengkapnya, Nat tidak percaya bahwa di dalam apartemennya ia memiliki seluruh sepatu mahal yang sudah tersedia sesuai dengan ukuran kakinya.

Belum selesai, setting dari lingkungannya pun berubah. New York yang sebelumnya dibilang “shithole”, kini berubah menjadi lebih hidup. Ada banyak bunga-bunga, ada berbagai macam warna-warni, pokoknya hal-hal yang bikin New York kini terlihat lebih positif dan memancarkan kegembiraan bagi para penghuninya. Nat menjadi satu-satunya anomali di sana. Meski sudah berpakaian berbeda, Nat tetap kelimpungan sama situasinya sehingga ia nampak tidak terlalu menikmatinya. Dekorasi/setting ini ke depannya dimanfaatkan untuk mendukung adegan-adegan romantis yang merupakan bentuk satir dari film-film romcom.

Untuk itu, dibutuhkan teknik sinematografi yang baik. Teknik-teknik ini sudah biasa ada di film-film romansa sehingga tidak istimewa, namun lagi-lagi, ditempatkan pas sesuai dengan porsinya. Yang pertama dan paling mudah dikenali adalah slow-motion. Ini memang senjata efektif untuk sebuah film romansa karena slow-motion, dengan gerakan lambatnya, bisa memunculkan sisi dramatik dari sebuah scene.

Jika dikaitkan dengan percintaan, ini cocok banget digunakan ketika dua orang tidak sengaja bertemu dan saling tertarik pada pandangan pertama. Dipadukan dengan pengambilan gambar yang dibikin close-up dan permainan cahaya dan warna bikin momen “first crush” ini jadi lebih berasa. Pengambilan close-up sendiri mampu memperlihatkan gestur wajah seseorang dengan jelas, bahkan detil. Selain itu, unsur keintiman juga bisa dibangun lewat cara ini.

Bukan hanya itu saja, slow-motion juga digunakan dalam waktu tertentu ketika dibutuhkan. Saat berada di situasi tidak mendukung, Nat yang sudah gak ngerti lagi sama apa yang menimpanya coba menebar kelopak bunga yang masing-masing kelopaknya mengandung angka. Jika disatukan, angka-angka itu bisa membentuk satu kesatuan berupa nomor telepon dari Blake (Liam Hemsworth), laki-laki ganteng super kaya yang naksir sama Nat. Ketika Nat melempar kelopak bunga tersebut, slow-motion bermain dengan iringan musik ala-ala “miracle scene”. Sekali lagi, ini sebetulnya biasa aja. Cuman karena penempatannya yang pas dan tuntutan naratifnya yang memang menonjolkan komedi, membuat hal-hal sederhana macam ini justru jadi lebih bermakna. Oh, and don’t forget the running scene!

Kemudian, dilihat dari tuntuan naratifnya, “Isn’t It Romantic” merupakan komedi satir dari film-film romcom. So, mereka akan bersenang-senang dengan hal-hal klise yang biasanya ada di film romcom. Nah, salah satu hal klise yang dieksekusi dengan baik oleh aspek sinematiknya adalah ketika kedua karakter utama sudah berada di puncak keintiman.

Sulit memang mendeskripsikannya, namun pasti kamu familiar dengan masa-masa ini di film romcom, apalagi pemahamanmu akan lebih dibantu dengan dialog dari karakter Nat yang secara terang-terangan bilang bahwa ini merupakan bagian klise. Yang menarik perhatian di sini adalah bagaimana shot klise ini diambil. Biar tidak setengah-setengah, kelucuan yang muncul di bagian ini tidak hanya datang dari dialog, namun juga aspek sinematiknya.

Di bagian tersebut, sineas memanfaatkan “Establishing Shot” agar mereka bisa “poke fun” kepada audiens dari elemen terbesar sebuah scene. Karena establishing shot menggunakan jarak yang jauh, maka aspek spasial dari scene itu jadi sangat menonjol selain juga menyokong apa yang dilakukan tokoh utama di situ. Latar yang diperlihatkan secara luas menunjukkan kalau ini adegan klise banget, tapi karena memang “Isn’t It Romantic” adalah satir maka hal tersebut menjadi sesuatu yang jatuhnya malah begitu menghibur, bukan sesuatu yang membosankan atau repetitif. Belum selesai, ketika shot berganti menjadi medium shots, muncul aspek berikutnya yang semakin menegaskan kelucuan klise ini, yaitu si wanita yang tiba-tiba terpeleset, kemudian ditangkap oleh sang pria dan diiringi oleh suara petir dan hujan rintik-rintik membasahi mereka berdua. Awww, so sweet! Hahaha.

Anyway, ada keunikan dalam film ini, jika melihat dari dialognya. Kalau dari tampilannya jelas bahwa “Isn’t It Romantic” bikin Nat tersesat di “romcom alternate universe”. Tapi yang tidak diduga adalah, universe ini juga memiliki rating tersendiri, yaitu PG-13. Jadi, akan ada aturan tertentu yang bakal membuat Nat jengkel setengah mati. Berbeda dengan poin lainnya yang lebih condong ke aspek wujud fisik, yang satu ini justru lebih mengarah ke suara, tepatnya sound mixing.

Dibekali oleh narasinya yang PG-13 tadi, film akan menunjukkan hal tertentu jika Nat melanggar peraturan ini. Dan karena peraturan tersebut erat kaitannya dengan suara, maka erat kaitannya dengan “Diagetic Sound”, yaitu suara-suara yang berasal dari dunia filmnya. Pertanyaan akan muncul ketika treatment ini dikaitkan dengan aspek akurasi suara. Apakah suara yang keluar dari objek akurat dengan suara aslinya? Jika mengacu kepada loudness maka hal ini akan menimbulkan kejanggalan.

Berbicara mengenai poin kejanggalan yang erat hubungannya dengan kelemahan, “Isn’t It Romantic” memiliki kekurangan saat setelah film beranjak dari turning point kedua hingga ke penghantar sebelum tahap konklusi. Tidak seperti tahap-tahap sebelumnya, tahap ini disajikan dengan sangat tergesa-gesa dan diperparah dengan editing yang kurang bagus. Value yang dibawa film ini dari awal adalah bagaimana kita mencoba untuk lebih membuka diri. Ternyata ada satu hal lagi yang ingin disampaikan yaitu kita juga harus mencintai diri sendiri.

Dua value yang tidak sama ini dipersatukan secara paksa dengan value kedua menjadi gong dari cerita, padahal value pertama adalah bahan bakar kisah ini sejak tahap konfrontasi dimulai. Dualisme yang disambungkan dengan tidak seimbang ini membuat adegan pamungkas menjadi tanggung. Penonton bisa tidak dapat feel-nya karena pada akhirnya semua jadi melenceng ke arah yang sama sekali baru. Apesnya, arah yang sama sekali baru ini hanya diterangkan secara singkat lewat beberapa flashback shots. Penonton mungkin tidak akan mengerti secepat itu mengenai korelasi yang terkandung di dalamnya. Sial, kebingungan ini ditutup oleh adegan yang mengagetkan, dalam artian negatif.

Kemudian mengenai ceritanya, ada hubungan menarik antara Nat dan sesama rekan kerjanya yaitu Josh (Adam Devine). Dari akting kedua aktor sangat jelas sekali kalau ada sesuatu diantara mereka berdua. Sebetulnya ini membuat film tidak memiliki sesuatu yang benar-benar istimewa, yang bisa menjadi penutup yang mengagetkan. Tidak, tidak sedikit pun. Story arc semacam ini sudah bisa ditebak bagaimana jadinya. Untung saja, cara mereka menyajikan seuatu yang “predictable” tersebut cukup oke, yaitu memanfaatkan sudut penglihatan.

Namun dari sini juga sudah bisa dipastikan bahwa karakter Nat adalah karakter yang di awal sangat lemah dan orang yang menyebabkan hal tersebut ditampilkan di sequence paling awal. Kemudian masalah berikutnya datang dari hubungan antara Nat dan Blake yang kurang jelas. Jika dilihat-lihat Blake ternyata lebih dari sekedar pria ganteng. Ia memiliki sesuatu yang ditutupi oleh batasan informasi cerita. Sayang, ketika batasan ini dibuka semuanya langsung meledak tiba-tiba karena penonton tahu seluruh permasalahan dari kacamata Nat saja. Tidak terlalu dalam info yang bisa kita mengerti, meski konflik ini hanya konflik sampingan.

“Isn’t It Romantic” adalah film komedi satir tentang romcom yang lucu dan cukup mengasyikkan. Bagian terbaik dari film ini tidak lain tidak bukan adalah ketika mereka berani “embrace” beberapa poin cheesy dari sebuah film romcom tanpa malu-malu. Kelemahannya? Mereka terlalu asik bermain di sana sehingga lupa untuk memberikan petunjuk mengenai apa sih yang sebenarnya ingin mereka sampaikan kepada penonton. Selain itu, eskalasi konfliknya terlalu kasar, begitu pula dengan pintu ke tahap konklusi. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa, cuman di poin-poin tertentu film ini masih bisa dijadikan pilihan yang lumayan jika kamu tidak ingin atau tidak dapat tiket nonton Dilan.

Buat Chillers yang tertarik, film ini bisa kamu saksikan di saluran film streaming Netflix.

 

Director: Todd Strauss-Schulson

Starring: Rebel Wilson, Adam Devine, Liam Hemsworth, Priyanka Chopra, Betty Gilpin

Duration: 89 Minutes

Score: 7.5/10

Tags: Adam DeVineBetty GilpinIsn't It RomanticLiam HemsworthPopularPriyanka ChopraRebel WilsonTodd Strauss-Schulson
Juventus Wisnu

Juventus Wisnu

“Don't ask yourself what the world needs, ask yourself what makes you come alive. And then go and do that. Because what the world needs is people who have come alive.”

Related Posts

Cha Eun Wo dalam Pembicaraan Film ‘K-Pop: Lost In America’

Cha Eun Wo Sedang Negosiasi untuk Film ‘K-Pop: Lost In America’

July 2, 2022
senior year

Ini Sinopsis Film Terbaru Rebel Wilson, ‘Senior Year’

May 11, 2022
senior year

Ada Rebel Wilson, Ini yang Harus Diketahui Tentang ‘Senior Year’

May 5, 2022
cineverse mei

Ini Rekomendasi Film dari Cineverse di Bulan Mei

May 3, 2022

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In