Kengerian adalah sesuatu yang universal. Orang di seluruh dunia tahu dan sekaligus bisa merasakan bagaimana situasi bisa disebut “ngeri”, walaupun mereka berasal dari negara yang berbeda. Pada tahun 2007 di Prancis sana, kengerian ditampilkan secara jelas dan brutal lewat sebuah film berjudul ‘Inside’. Disutradarai oleh Julien Maury dan Alexandre Bustillo, film yang juga memiliki judul lain “A L’interieur” ini menjadi salah satu film Prancis yang menandai masa-masa jaya genre horror-thriller di sana. Bersama dengan film-film serupa macam “High Tension” (Alexandre Aja), “Ils” (Xavier Palud & David Moreau) dan “Martyrs” (Pascal Laugier), ‘Inside’ versi Prancis sukses meneror penonton seluruh dunia sehingga Hollywood tertarik untuk memproduksi remake-nya.
Sekarang, ‘Inside’ versi Hollywood akhirnya rilis juga setelah lama tertunda. Disutradarai oleh Miguel Angel Vivas, film ini masih memiliki esensi cerita yang sama dengan versi aslinya. Seorang ibu bernama Sarah Clark (Rachel Nichols) mengalami kecelakaan hebat yang merenggut nyawa sang suami. Setelah keluar dari rumah sakit, Sarah menanti kelahiran bayinya seorang diri. Suatu malam, seorang wanita misterius mengetuk pintu rumah Sarah. Ia meminta Sarah untuk membantunya meminjamkan telepon, namun Sarah tidak berkenan. Kaget mendengar bahwa wanita misterius itu tahu rahasia Sarah sebelum menghilang, Sarah menelpon polisi. Tidak menemukan apapun, Sarah akhirnya beranjak tidur. Nah, mulai dari sini kejar-kejaran ala cat and mouse mematikan antara Sarah vs wanita “stranger” dimulai.
Dimulai dengan cerita yang kurang lebih sama dengan pendahulunya bikin orang-orang yang dulunya sudah menonton “A L’interieur” terbawa nuansa nostalgia. Sayangnya, jika dibandingkan dengan yang asli, poin nostalgia yang berikutnya kurang berhasil dibawa. Ya, tingkat kesadisan “Inside” masih berada di bawah pendahulunya. Seperti yang kita tahu, unsur gore “A L’interieur” termasuk tinggi. Kanal Roger Ebert pun menulis bahwa film tersebut diberi gelar “torture porn”, dan ini jelas bukan tontonan yang ditujukan bagi mereka yang tidak kuat melihat darah atau cepat merasa mual.
Kali ini Miguel coba mengemas ‘Inside’ ke dalam bentuk yang lebih soft, walaupun tidak semata-mata langsung meninggalkan elemen sadisnya. Tusukan, sayatan, cekikan, tembakan semua masih tersaji di dalam film ini. Pertumpahan darahnya pun lumayan berceceran. Hal ini masih menimbulkan ketidaknyamanan dan memang itu salah satu rasa yang diinginkan. Mostly, adegan yang menyertakan banyak darah masih tersamarkan berkat pencahayaan ruangan yang memang tidak dibikin terang. Cuman tetap saja, rasa ngilu muncul akibat efek suara yang disturbing.
Oh, ngomong-ngomong soal sound, ‘Inside’ ternyata doyan sekali memanfaatkan hal ini untuk mengejutkan penonton. Biasanya treatment tersebut mereka gunakan sebagai pengganti sequence, tepatnya ketika adrenalin penonton sudah mulai menurun pada pertengahan awal masa. Awalnya, ini berhasil menghibur. Tapi, jika terlalu sering digunakan, suara yang terdengar justru tidak lagi mengagetkan. Cara tersebut sudah terlalu matang, sehingga menjurus ke sesuatu yang lebay, yang cukup menjengkelkan.
Tapi, kelemahan utama dari ‘Inside’ versi zaman now adalah bagaimana film menampilkan para karakternya. Sungguh lucu, karena betul-betul terlihat bodoh. Banyak sekali adegan yang bisa membuat penonton geregetan sendiri. Di satu sisi, hal ini memang berhasil membuat film menjadi seru. Tapi di sisi yang lain, kita jadi mikir kok mau-maunya ya kita merasa terhibur dengan kebodohan-kebodohan macam ini. Rachel Nichols dan Laura Harring bermain bagus sebagai dua karakter utama, namun sangat disayangkan karakter mereka ditampilkan begitu ceroboh, meskipun kuat. Apakah penulis naskah dari film ‘Inside’ mengabaikan hal paling esensial dari sebuah pengadeganan yaitu kepekaan terhadap lingkungan (outside)? Mungkin saja iya. Demi keperluan intensitas semata, film mengesampingkan hal tersebut sehingga kelucuan ini dapat terjadi sampai beberapa kali.
Last but not least adalah ending-nya. Kami tentu tidak ingin membocorkan apa yang terjadi, namun ending di film ini memiliki kekuatan dan kelemahan yang sama besar. Tanpa membandingkan dengan versi orisinilnya, di sini posisi dari karakter yang diperankan oleh Laura Harring akan semakin penting. Film menyajikan motif dari karakter wanita misterius dengan kuat. ‘Inside’ memberi tahu kenapa sang kucing sangat menginginkan tikusnya dan semua coba dijelaskan secara perlahan. Meski ini berkaitan dengan twist yang kurang impresif, namun usaha tersebut patut diapresiasi karena pada akhirnya karakter antagonis ini bukan hanya merupakan seorang wanita gila semata.
Tapi, jika beranjak pada bagaimana film berakhir, bukan tidak mungkin penonton akan mengernyitkan dahi masing-masing. Melihat bagaimana karakter antagonis dibuat sebegitu menariknya, semua tiba-tiba seperti dilempar begitu saja. Terlalu tanggung dan flat. Di akhir film, kita akan berada di antara perasaan bingung, atau kurang puas. Penyelesaian yang antiklimaks ini semakin membuat ‘Inside’ tidak lebih dari sekedar film seru-seruan. Bikin gregetan dan mulas sambil terlarut dalam kebodohan yang gemas.
Film ini sudah bisa Chillers tonton mulai 12 September 2018 di bioskop terdekat di kota kamu.
Director: Miguel Angel Vivas
Starring: Rachel Nichols, Laura Harring, Craig Stevenson, Andrea Tivadar, Ben Temple, Maarten Swaan
Duration: 89 minutes
Score: 6.3/10