Sejumlah film hasil besutan Teguh Karya mendominasi peraih Piala Citra, seperti ‘November 1828’, ‘Di Balik Kelambu’, dan ‘Ibunda’
Festival Film Indonesia merupakan ajang penghargaan tertinggi bagi para sineas Indonesia. Penghargaan ini disertai dengan pemberian sebuah piala yang biasa disebut Piala Citra. Membahas hal tersebut, dari banyaknya nominasi yang ditentukan, hanya ada enam piala utama yang diperebutkan dalam ajang FFI.
Piala utama itu diberikan kepada Film Terbaik, Penyutradaraan Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.
Kali ini, Cineverse akan membahas “10 Film Peraih Piala Citra Terbanyak”. Berikut daftar urutan pertama hingga kelima!
1. November 1828 (1979)
‘November 1828’ merupakan sebuah film bergenre drama yang diproduksi pada tahun 1979 dan disutradarai oleh “Suhu Teater Indonesia”, Teguh Karya. Film yang mengangkat cerita sejarah Indonesia ini dibintangi oleh Slamet Rahardjo, Rachmat Hidayat, El Manik, dan Yenny Rahman.
Tema yang diangkat dalam film ini adalah loyalitas dan pengkhianatan. Melalui ‘November 1828’, Teguh Karya berusaha menggambarkan keadaan sebuah kelompok penduduk desa di Jawa, yakni Desa Sambiroto yang memberontak melawan penjajahan Hindia Belanda.
Kelompok ini berada di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro bersama tangan kanannya, yaitu Sentot Prawirodirdjo. Hal ini dilakukan sebab pemerintahan kolonial Belanda telah sewenang-wenang menarik pajak yang tinggi kepada rakyat desa.

Alur cerita film dimulai ketika salah satu pimpinan pemerintah Belanda bernama Kapten van der Borst beserta pasukannya datang ke desa tersebut. Mereka berusaha mengorek informasi mengenai tempat persembunyian Sentot Prawirodirdjo.
Selain itu, ada juga seorang Demang bernama Jayengwirono yang merupakan seorang pengadu domba, pesilat lidah, dan sosok yang gila harta. Saat kapten tersebut datang, ia memberitahu bahwa Kromoludiro-lah yang mengetahui informasi keberadaan Sentot.
Akhirnya, Kromoludiro ditangkap dan ditawan di rumahnya sendiri sambil dipaksa dengan berbagai upaya agar mau membuka suara mengenai informasi tersebut. Dalam proses interogasi ini, sebenarnya bukan hanya kepentingan kelompok yang berusaha ditonjolkan, namun ada konflik pribadi yang ikut bermunculan.
Terutama, pada kapten van der Borst. Ia sebenarnya melakukan tugas itu karena berada dalam suatu misi untuk kepentingan pribadinya. Kapten van der Borst tidak sendiri menghadapi masyarakat di desa tersebut, ia memimpin bersama Letnan van Aken. Gaya kepemimpinan Kapten Borst berbeda dengan kawannya itu.
Letnan van Aken justru diam-diam bersimpati terhadap rakyat Jawa. Dia juga menolak kekerasan apalagi sampai menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suatu keuntungan. Bisa dilihat, pihak yang menimbulkan konflik besar-besaran adalah bawahan Hindia Belanda yang memiliki ambisi pribadi, namun tetap tidak menghasilkan apa-apa.

Dalam film ini, sebenarnya, tidak diperlihatkan jelas sosok atasan Belanda maupun Pangeran Diponegoro. Mereka hanya menjadi tokoh dalam latar belakang cerita film. Sementara Sentot Prawirodirdjo yang dicari-cari pun, hanya tampil pada detik-detik akhir sebagai pemetik hasil perjuangan gotong royong.
Ada beberapa hal yang menarik dalam film ini yang bisa kita temui. Salah satunya adalah kepribadian para tokoh yang tadi disebutkan. Dari mereka, kita bisa menggali watak dan sikapnya, lalu mengambil pesan tersirat dari setiap tokoh yang muncul di layar.
‘November 1828’ juga merupakan film yang syarat akan makna. Para penonton dapat memahami bahwa orang yang memiliki ambisi terhadap kekayaan dan kekuasaan pada akhirnya tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan.
Sebaliknya, mereka bahkan bisa mati akibat ulahnya sendiri. Sementara itu, orang yang memiliki idelogi dan prinsip kepercayaan yang tinggi terhadap kebenaran dan keadilan tetap mendapatkan suatu hal yang terbaik, meskipun harus mempertaruhkan nyawa.
Bagaimana, Cilers? Wajar saja bukan bila film ini berhasil meraih 7 Piala Citra sekaligus pada Festival Film Indonesia 1979?
Penghargaan utama yang diperoleh di antaranya adalah Film Terbaik, Sutradara Terbaik: Teguh Karya, dan Pemeran Pendukung Pria terbaik: El Manik. Sisanya, diberikan penghargaan kepada Sinematografi Terbaik: Tantra Surjadi, Tata Artistik Terbaik: Benny Benhardi, Tata Suara Terbaik: Suparman Sidik, dan Tata Musik Terbaik: Franki Raden, Sardono W. Kusumo, dan Slamet Rahardjo.
Melalui film ‘November 1828’, kita mendapatkan pengalaman menonton yang luar biasa. Bukan hanya sebagai hiburan, melainkan juga pelajaran bagi kehidupan kita sehari-hari. Cilers yang menyukai film dengan kisah perjuangan dapat memasukan film yang satu ini ke dalam list tontonan kalian.
2. Di Balik Kelambu (1983)
‘Di Balik Kelambu’ adalah film drama Indonesia yang dirilis pada tahun 1983 dan dibintangi oleh Slamet Rahardjo bersama Christine Hakim. Film ini merupakan karya kedua Teguh Karya setelah ‘November 1828’. Berbeda dengan film sebelumnya, kali ini Teguh mengambill jalan cerita sederhana, yaitu dari isu kehidupan rumah tangga yang banyak terjadi di kalangan masyarakat.

Jalan cerita utama berfokus pada kehidupan pasangan suami istri yang bernama Hasan dan Nurlela. Setelah menikah, mereka masih harus tinggal bersama ayah Nurlela yang biasa dipanggil Abah. Sayangnya, pasangan ini tidak hidup dalam keadaan bahagia. Setiap hari, mereka harus mendapatkan tekanan dari Abah yang terus membanding-bandingkan Hasan dengan menantunya yang lain bernama Bakri.
Sosok Bakri bak menantu idaman bagi Abah sebab memiliki pekerjaan tetap dan mapan. Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan Hasan yang hanya seorang karyawan biasa di salah satu perusahaan transportasi. Tekanan yang diterima Hasan membuatnya sangat menderita hingga mencari jalan keluar dengan cara berbohong agar bisa diakui kehebatannya oleh Abah.
Sayangnya, cara itu tetap tidak menghasilkan apa pun. Keputusan tersebut justru membuat Hasan menghancurkan kehidupan rumah tangganya sendiri. Sebenarnya, film ini sangat mudah dipahami setelah ditonton. Jalan cerita yang dihadirkan sangat sederhana.
Yang menjadi daya tarik utama film ‘Di Balik Kelambu’ adalah akting dari Slamet Rahardjo sebagai Hasan dan Christine Hakim sebagai Nurlela. Selain kedua pemeran utama tersebut, film ini juga didukung oleh akting terbaik yang diberikan oleh Maruli Sitompul sebagai Abah.
Ketiganya mendominasi dan memberikan kualitas akting terbaik sehingga menjadikan film ini terasa nyata, bahkan pada kehidupan zaman sekarang. Melalui fenomena suami-istri yang masih tingal di rumah orang tua, Teguh Karya mencoba memasukkan komentar sosial dari berbagai isu kehidupan rumah tangga.
Dalam dunia nyata, fenomena tersebut memang sudah banyak terjadi dan dianggap sebagai aib karena sepasang suami istri yang masih tinggal di rumah orang tua adalah mereka yang “menumpang”. Kondisi itu memberikan pandangan negatif bagi pasangan tersebut.
Hal-hal tersebutlah yang berusaha ditampilkan dalam film berdurasi 94 menit ini. Ada satu hal yang bisa ditangkap jelas dalam film ini, yaitu soal “kebebasan”. Hasan dan Nurlela sangat ingin membuktikan bahwa mereka bisa hidup secara mandiri dan terbebas dari kekangan si Abah yang cerewet. Akan tetapi, kebebasan itu terhalang permasalahan ekonomi yang membelit.

Teguh Karya benar-benar bisa menghadirkan kisah yang menarik untuk ditonton dan sarat akan makna yang berarti untuk kehidupan rumah tangga. Apabila dipikir kembali, film ini masih bisa ditonton hingga saat ini dan masih terasa relateable dengan keadaan zaman sekarang.
Dengan demikian, pantas saja, film ini memperoleh penghargaan Piala Citra sebanyak enam penghargaan. Di antaranya adalah Film Terbaik, Sutradara Terbaik: Teguh Karya, Aktor Terbaik: Slamet Rahardjo, Aktris Terbaik: Christine Hakim, dan Aktor Pendukung Terbaik: Maruli Sitompul. Sementara satu pengharagaan lain, didapat dari nominasi Penyunting Terbaik: George Kamarullah.
Seluruh kemenangan tersebut diraih pada Festival Film Indonesia 1983. Bagi Cilers yang menyukai film dengan cerita ringan, ‘Di Balik Kelambu’ cocok bagi kalian yang ingin mendapatkan beberapa pesan untuk kehidupan pernikahan di masa yang akan datang!
3. Ibunda (1986)
Masih dari film bergenre drama, ‘Ibunda’ juga merupakan film yang disutradarai oleh Teguh Karya dan dirilis pada tahun 1986. Hampir mirip dengan film sebelumnya yang mengangkat isu keluarga, film ini akan membawa kita pada cerita perjuangan ibu yang berusaha keras merengkuh dan menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi anak-anaknya.
‘Ibunda’ dibintangi oleh sejumlah aktris dan aktor terkenal. Di antaranya adalah Ayu Azhari, Ria Irawan, Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Niniek L. Karim, dan Galeb Husain. Film dengan durasi 103 menit ini akan membawa penonton untuk lebih memaknai keberadaan sosok ibu. Dalam hal itu, Ibu Rakhim, seorang janda priyayi, diperankan dengan apik oleh Tuti Indra Malaeon. Ia memiliki 4 orang anak, yakni Farida, Zulfikar, Fakhri, dan si bungsu Fitri.

Pusat permasalahan terbesar ada pada kedua anaknya, yaitu Zulfikar (Alex Komang) dan Fitri (Ria Irawan). Zulfikar merupakan seorang bintang teater yang sedang naik daun. Dia mendapatkan kontrak untuk bermain dalam salah satu film yang diangkat dari cerita teater. Namun masalahnya, Fikar harus meninggalkan anak dan juga istrinya (Ayu Azhari) demi seseorang wanita hedonis yang mengangkat namanya untuk mendapatkan kontrak tersebut.
Selain permasalahan Fikar, masalah selanjutnya menyoroti Fitri yang menjalin kasih dengan seorang lelaki bernama Luke, berketurunan Irian. Lelaki itu sedang menempuh kuliah tingkat akhir, sedangkan Fitri masih belum menyelesaikan pendidikan SMA.
Hubungan asmara Fitri sangat ditentang oleh kakak tertuanya, Farida yang telah berkeluarga dengan suami bernama Gatot dan anak bernama Agus. Di saat Farida berusaha membantu menyelesaikan permasalahan adik-adiknya, ia sendiri tidak sadar bahwa permasalahan keluarganya juga belum selesai. Ditambah lagi, anaknya Agus menjadi seorang pemabuk karena mimpinya ditentang oleh sang ayah.

Sebagai seorang ibu, Rakhim tidak bisa tinggal diam dengan semua permasalahan yang ada. Film akan membawa kita untuk melihat beliau menyelesaikan seluruh permasalahan anaknya dengan gaya yang bijaksana dan terbuka. Pesan yang bisa dimaknai adalah seburuk apa pun permasalahan anak, seorang ibu pasti akan tetap terbuka untuk menerima kembali buah hatinya, bahkan membantu menyelesaikan permasalahan.
Berkat jalan cerita yang apik ditambah dengan akting yang ditampilkan oleh para pemainnya, film ini pantas memperoleh sembilan Piala Citra, dan empat di antaranya adalah penghargaan utama, yakni Film Terbaik, Sutradara Terbaik: Teguh Karya, Pemeran Utama Wanita Terbaik: Tuti Indra Malaon, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Niniek L. Karim.
Penghargaan lainnya juga diraih dalam beberapa kategori, yakni Cerita Asli Terbaik: Teguh Karya, Tata Sinematografi Terbaik: George Kamarullah, Tata Artistik Terbaik: Adji Mamat Borneo, Tata Suara Terbaik: Zakaria Rasyid, dan Tata Musik Terbaik: Idris Sardi. Seluruh penghargaan tersebut diraih dalam Festival Film Indonesia 1986.
Karena makna kehadiran seorang ibu yang tersampaikan dengan baik di dalam film ini, Cineverse merekomendasikan ‘Ibunda’ untuk menjadi salah satu pengisi daftar tontonan Cilers!
4. Tjoet Nja’ Dhien (1988)
‘Tjoet Nja’ Dien’ merupakan sebuah film biopik yang mengangkat kisah salah satu tokoh pahlawan Indonesia bernama Cut Nyak Dhien. Film ini dibuat pada tahun 1988 dan disutradarai oleh Eros Djarot. Film dibintangi oleh Christine Hakim, Piet Burnama, Rudy Wowor, Slamet Rahardjo, Rosihan Anwar, Ibrahim Kadir, Roy Karyadi, Fritz G. Schadt, Robert Syarif, dan Rita Zahara.
‘Tjoet Nja’ Dhien’ sempat diajukan dalam Academy Award ke-62, tepatnya pada tahun 1990, untuk penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik. Sayangnya, film ini belum bisa lolos dalam pencalonan nominasi. Walaupun begitu, ‘Tjoet Nja’ Dhien’ menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan dalam Festival Film Cannes 1989.

Cut Nyak Dhien merupakan salah seorang pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Beliau berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Pejuang wanita ini lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada tahun 1848, dan wafat di Sumedang, Jawa Barat , 6 November 1908. Lalu, beliau dimakamkan di Gunung Puyung, Sumedang.
Film ini tidak berfokus pada kehidupan pribadi Cut Nyak Dhien, namun menggambarkan perjuangan seorang pemimpin panglima perang wanita bersama pasukannya dalam melawan penjajahan yang terjadi di tanah kelahirannya, Aceh. Dalam perang ini, Cut Nyak Dhien juga ikut membantu upaya suaminya, Teuku Umar (Slamet Rahardjo), yang menjadi panglima perang antar-rakyat Aceh.
Perjuangan tersebut semakin berat ketika Teuku Umar tertangkap oleh Belanda sebab dikhianati oleh orang terdekatnya. Kejadian ini membuat Cut Nyak Dhien mau tidak mau harus turun tangan sendiri menghadapi Belanda bersama para pejuang lainnya. Bahkan, ia turun ke medan perang langsung, meskipun tidak dalam kondisi yang prima.
Tak hanya menggambarkan perjuangan seorang Cut Nyak Dhien bersama dengan permasalahan yang ia harus hadapi, film ini juga menggambarkan kesulitan yang dialami oleh pihak Belanda saat bertempur melawan tentara Aceh dalam perang yang berlangsung selama lebih dari 31 tahun.
Sebagai seorang sutradara, Eros Djarot bersama tim telah sukses melakukan restorasi film ‘Tjoet Nja’ Dhien’. Hal ini tidak terlepas dari kesuksesan para bintang yang juga berhasil menampilkan akting yang luar biasa. Salah satu bintang utamanya ialah Chistien Hakim. Dia menggambar perannya sebagai suatu “kehormatan besar” dan “sangat menantang”.

Film yang mengangkat kisah pahlawan Nasional Indonesia ini pantas mendapatkan banyak Piala Citra berjumlah delapan penghargaan. Penghargaan utama yang diraih antara lain, Film Terbaik, Sutradara Terbaik: Eros Djarot, dan Pemeran Wanita Terbaik: Christine Hakim.
Penghargaan lainnya adalah kategori Skenario Terbaik: Eros Djarot, Cerita Asli Terbaik: Eros Djarot, Tata Sinematografi Terbaik: George Kamarullah, Tata Artistik Terbaik: Benny Benhardi, dan Tata Musik Terbaik: Idris Sardi. Seluruh penghargaan didapat pada Festival Film Indonesia 1988.
Sebagai generasi muda, film ini layak kita tonton agar bisa membangkitkan rasa nasionalisme serta sebagai bagian dari penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjasa untuk kemerdekaan Negara Kemerdekaan Republik Indonesia ya, Cilers!
5. Pacar Ketinggalan Kereta (1989)
Film ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ merupakan film bioskop terakhir dari “Suhu Teater Indonesia” atau “Maestro Perfilman Indonesia”, yaitu Teguh Karya. Film ini terbilang cukup spesial karena Teguh dapat mengikuti perkembangan selera pasar saat itu, tanpa meninggalkan ciri khasnya dalam membawa tema ‘besar’ di filmnya.
Secara keseluruhan, ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ dinilai sedikit menurun kualitasnya, bahkan cukup jauh dari ekspektasi banyak orang. Meskipun begitu, bukan berarti film ini sangat jauh dari kualitas. ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ masih tetap menampilkan sajian di layar yang pantas untuk ditonton.

Dasar cerita film tersebut diadaptasi dari novel berjudul Kawinnya Juminten karya Arswendo Atmowiloto. Pemilihan judul film yang berbeda dengan cerita aslinya membuat banyak orang ingin tahu, cerita seperti apa yang akan dibawakan oleh Teguh Karya.
Deretan pemain yang dipilih Teguh merupakan bintang-bintang yang sedang berjaya pada saat itu. Di antaranya ialah Nurul Arifin, Didi Petet, Onky Alexander, hingga penampilan aktor dan aktris papan atas, seperti Tuti Indra Malaon, Rachmat Hidayat, Niniek L. Karim, Alex Komang, Rita Zahara, dan Nani Soemanegara.
Kisah dimulai dari pesta ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak Padmo (Tuti Indra Malaon dan Rachmat Hidayat) yang ke 25 tahun. Pada acara itu, Bu Padmo memiliki kecemburuan terhadap sekretaris Pak Padmo yang bernama Retno (Niniek L. Karim).
Kecemburuan ini semakin menjadi-jadi saat ia mengetahui putranya, Heru (Onky Alexander), menjalin kasih dengan Ipah (Nurul Arifin), seorang gadis yang dianggapnya tidak pantas karena memiliki kaki pincang. Selain itu, sopirnya, Martubi (Alex Komang) ternyata berpacaran dengan Juminten (Nani Vidia) yang merupakan pembantu dari Retno.

Kecemburuan tersebut membawa permasalahan bagi keluarga Padmo hingga menimbulkan kesalahpahaman yang harus segera diakhiri. Kompleksitas jalan cerita film ini harus kita ikuti sejak awal durasi karena banyaknya tokoh dengan beragam karakter yang dihadirkan. Namun yakinlah, seluruh pemain berperan dengan sangat baik dan tepat sesuai porsinya, tanpa saling ingin terlihat lebih menonjol.
Film ini nyaris merebut seluruh kategori utama penghargaan. ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ berhasil memenangkan Film Terbaik, Sutradara Terbaik: Teguh Karya, Pemeran Utama Terbaik: Rachmat Hidayat, Pemeran Utama Wanita Terbaik: Tuti Indra Malaon, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik: Niniek L. Karim.
Selain penghargaan utama, ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ juga memenangkan kategori Tata Artistik Terbaik: Adji Mamat Borneo, Penyunting Terbaik: Karsono Hadi, dan Tata Suara Terbaik: Iwan Mauritz. Seluruh penghargaan ini didapat pada Festival Film Indonesia Tahun 1989.
Melalui kisah di dalamnya, kita diajarkan untuk berbaik sangka kepada setiap orang dan berlatih menerapkan pelajaran tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.
Itu dia, 5 film peraih Piala Citra terbanyak di sepanjang sejarah FFI. Masih ada lagi lho film lainnya yang mendapat penghargaan Piala Citra melalui ajang Festival Film Indonesia. Selanjutnya, akan dibahas dalam “10 Film Peraih Piala Citra Terbanyak (Part-2)”.
Ditunggu saja ya, Cilers!