“I wish i could shield you from the knowledge that you did what you did, but you’re sister is dead! She’s gone forever! And what a waste.” – Annie.
Setelah ‘A Quiet Place’ sukses membuat orang ketakutan beberapa waktu silam, kini film horor yang sejak lama ditunggu sejak awal tahun ini bisa Chillers saksikan. Sutradara debutan yang baru berusia 31 tahun, Ari Aster, merasa deg-degan setengah mati ketika filmnya yang berjudul “Hereditary” pertama kali disaksikan di Sundance Film Festival. Berdasarkan penuturannya, pada screening pertama, ia tidak mendengar orang-orang berteriak ketakutan. Semuanya terdiam. Ari tentu cemas karena ia tidak ingin filmnya dibenci karena terlalu berat. Namun setelah film berakhir yang muncul adalah riuhnya tepuk tangan dan sambutan positif. Penonton ternyata tidak merasa bosan, namun lumpuh oleh ketakutan.
Kurang lebih itulah yang juga akan kamu alami ketika menonton film ini. Hereditary adalah film horor terbaru dari A24, di mana sebelum rilis di Indonesia mereka sudah sukses terlebih dahulu baik di festival film maupun di Box Office. Ceritanya berfokus pada kehidupan sebuah keluarga yang terdiri dari Annie (Toni Collette), Steve (Gabriel Byrne), Peter (Alex Wolff) dan Charlie (Milly Shapiro). Kematian ibu dari Annie (neneknya Peter dan Charlie) menyisakan duka, terutama untuk Charlie yang merupakan cucu kesayangan. Masih dalam keadaan sedih, keluarga ini kemudian mendapatkan satu cobaan besar yang membuat mereka tertekan dan pada akhirnya kejadian tersebut akan mengungkap sesuatu tentang masa lalu yang menyeramkan, yang sudah tertutupi selama bertahun-tahun.
Hereditary lebih meneror dengan cara menyerang sisi psikologis karakter. Semakin lama cerita menjadi semakin intens dan suasana semakin chaos akibat jiwa yang tidak terkontrol. Rasa duka mendalam menjadi akar permasalahan dan bukan tidak mungkin kita bisa melakukan hal-hal gila jika merasa tidak rela. Apalagi, konsep dari relationship yang terjalin antar karakter adalah keluarga, maka tindakan yang diambil meski terbilang ekstrim namun masih dapat dipahami.
Untuk jumpscares-nya, tidak ada yang dibuat generik walau cenderung membosankan. Tidak nampak formula di mana film akan menakuti penontonnya lewat penuansaan yang diciptakan sedemikian rupa kemudian mengagetkan secara spontan lalu selesai. Penampakan yang ada di sini justru cenderung dibuat secara halus sehingga kita akan ngomong “ih itu ada siapa tuh di sana”, sambil memusatkan perhatian kepada satu titik tertentu atau bahkan sambil menunjuk ke arah layar. Tiba-tiba muncul saja sebuah sosok di salah satu sudut ruangan, sehingga kita menjadi waswas sendiri kalau nanti sedang berada di tempat yang minim cahaya.
Tapi dibanding penampakan makhluk halusnya, Hereditary tetap lebih nendang lewat teror psikologis dan juga unsur seperti kerasukan. Beberapa scene mengenai hal ini akan cukup diingat karena selain terdapat daya kejut, nampak pula mimik yang tak sedap dipandang mata. Tanda bahwa orang yang bersangkutan sedang “tidak beres”. Ditambah dengan fakta kalau salah satu anggota keluarga punya habit buruk yaitu sleepwalking, semakin banyaklah variasi yang bisa dimanfaatkan sutradara guna menampilkan teror yang ia inginkan. Selain itu, film ini juga cenderung disturbing karena terdapat beberapa momen mengerikan di mana Hereditary tidak segan untuk menunjukkannya secara jelas dan terang-terangan. Suara lalat dan juga musik latar yang memburu semakin menjadikan pemandangan tersebut sebagai salah satu mimpi buruk.
Seluruh aktor tampil mengagumkan namun akting dari Toni Collette menjadi primadona. Penampilannya di sini sangat sinting dan itu bisa kita rasakan secara bertahap dari awal hingga akhir. Emosinya kacau balau, di mana Annie sudah menyimpan sebuah masalah dengan ibunya sejak ibunya masih hidup dan yah, masalah tersebut akan terus menghantuinya. Belum selesai kita melihat bagaimana karakter yang sudah memiliki backstory bak kapal pecah ini dapat mengatasi semua dengan baik, eh cerita sudah masuk ke second act di mana Annie dijebloskan semakin dalam, terjatuh ke dalam jurang yang sangat gelap. Toni Collette berhasil menampilkan sosok ibu yang intens, tegar, rapuh dan gila dalam kurun waktu dua jam saja. Anyway, Milly Shapiro begitu menakutkan di sini. Tanpa banyak berkata-kata, karakter Charlie lebih suka menerjemahkan maksudnya lewat cara-cara lain, seperti menggambar misalkan. Di balik kepolosannya, penonton masih dapat merasakan emosi terpendam dari karakter ini, mengingat dia adalah yang paling merasa kehilangan setelah sang nenek meninggal dunia.
Tantangan besar mulai ditemui ketika film memasuki babak akhir. Salah satu penandanya adalah terdapat hal yang nampak sangat ter-influence dari film “45 Years”. Di dalam film tersebut karakter utama menemukan sebuah rahasia yang berupa surat cinta dari kekasih lama. Nah, di sini tentu karakter utamanya menemukan sesuatu yang jauh berbeda. Kesamaannya adalah, item yang ditemui betul-betul mengubah tensi film menjadi semakin tinggi, atau menegangkan dalam kasus Hereditary. Sebuah pintu yang oke untuk mengakhiri semuanya, di mana dari titik ini mereka mencoba untuk menyatukan kepingan demi kepingan yang berserakan dan bermuara pada sebuah ending yang provokatif.
Mungkin tidak semua orang akan merasa takut ketika menonton film ini karena Hereditary menyajikan kengerian secara perlahan-lahan atau slow burn. Unsur klise juga turut hadir di sini, yang mana terlihat dari letak rumah keluarga Graham yang lagi-lagi jauh dari keramaian. Tapi di balik itu, film berhasil dalam memberikan perbedaan yaitu teror yang, oke lah tidak terlalu bikin sport jantung, namun kesan yang ditinggalkan tetap akan membekas cukup lama. Selain itu, drama keluarganya juga sangat kuat berkat penceritaan yang kelam dan akting yang mengagumkan dari seluruh aktor yang memerankan masing-masing anggota keluarga. Beberapa teknik camera movement dan juga pemanfaatan spektrum cahaya juga menambah kesan stylish. Sebuah debut yang luar biasa!
Director: Ari Aster
Starring: Toni Collette, Alex Wolff, Gabriel Byrne, Milly Shapiro, Ann Dowd
Duration: 127 minutes
Score: 8.5/10