30 Maret kemarin diperingati sebagai Hari Film Nasional. Hari di mana perfilman Indonesia mulai bergerak lewat hari pertama pengambilan gambar film “Darah dan Doa” karya Usmar Ismail. Selang tujuh dekade setelahnya, perfilman Indonesia mulai menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Sayang, semuanya mesti rehat dulu sejenak akibat merebaknya pandemi Virus Corona.
Di satu sisi ini cukup menyedihkan karena kita mau gak mau merayakan Hari Film Nasional di rumah saja. Tapi di sisi lain, ini adalah awalan yang fresh untuk perfilman nasional. Ya, kami pun sadar bahwa mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk kembali meramaikan bioskop itu tidak mudah. Perlu ada stimulus-stimulus tertentu. Tapi setidaknya kita bisa memiliki waktu yang cukup untuk mengevaluasi diri agar nanti bisa lebih baik lagi. Untuk itu, di Hari Film Nasional kali ini kami memberikan beberapa “asa” atau harapan yang semoga bisa terlaksana.

Asa 1: Campaign
Seringkali kita mendengar jargon-jargon atau campaign untuk mendukung film dalam negeri. Kurang lebih kata-katanya, “Ayo dukung terus perfilman Indonesia”. Itu sama sekali tidak salah, namun jangan sampai jargon bernuansa nasionalisme tersebut dijadikan alat jualan agar sebuah film bisa laku. Kita sebagai penonton adalah orang yang berhak memilih untuk menonton film apa, dan tidak ada kata-kata “Karena ini film Indonesia” yang dijadikan indikator bagi kita dalam memilih tontonan. Biarlah penonton mendukung perfilman nasional dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak perlu dikomporin dengan jargon dan segala macamnya lagi. Dukung terus film-film Indonesia yang berkualitas.
Asa 2: Pemeran
Dari beberapa tahun ke belakang, guyonan “Reza lagi, Reza lagi” sudah biasa terdengar. Bukan salah aktornya juga sih, karena Reza sendiri memang kualitasnya bagus. Cuman kami di sini lebih melihat pada masalah yang dulu dihadapi oleh branch aktor, yaitu mulai berkurangnya pemeran sehingga yang tampil itu-itu saja.
Nah, sekarang kondisi sudah mulai berubah nih! Mulai muncul nama-nama baru yang meramaikan perfilman Indonesia, dan bahkan ada yang sudah memiliki fanbase besar. Mulai dari pemeran remaja seperti Zara Adhisty, Angga Yunanda, Iqbaal Ramadhan, sampai yang lebih young-adults seperti Chelsea Islan, Baskara Mahendra, hingga Lutesha. Momen ini harus terus dikembangkan sehingga para aktor muda bisa sematang Reza. Caranya? Mungkin dengan memberikan mereka kepercayaan yang lebih besar atau lewat karakter yang menantang.

Asa 3: Filmmaker
Yang membedakannya dengan pemeran sebenernya simpel, yaitu lebih merujuk pada orang-orang dibalik layar. Sama dengan aktor, Indonesia juga banyak yang bilang kekurangan SDM di bagian filmmaker-nya, terutama di penulis naskah. Dengan kepergian almarhum Khikmawan Santosa tahun lalu, branch sound juga menjadi kekurangan talenta. Jangan biarkan hal ini terjadi, segera telurkan bakat-bakat baru yang mumpuni. Puji Tuhan, tahun lalu momen tersebut bisa muncul. Gina S. Noer menghebohkan kita semua lewat debut penyutradaraannya yang luar biasa di film “Dua Garis Biru”. Ia bahkan menjadi pesaing kuat bagi sutradara senior sekelas Garin Nugroho di FFI 2019.
Kemudian ada juga nama-nama baru lainnya seperti Yandy Laurens (Keluarga Cemara) dan Bene Dion (Ghost Writer). Film mereka tidak hanya bagus secara kualitas, namun juga terbukti sukses dalam meraih pundi-pundi Box Office. Bahkan sebelum Corona menyerang, kita disuguhkan satu talenta lagi dalam diri Jeihan Angga (Mekah I’m Coming). Jadi, walaupun fanbase-nya gak sebesar aktor, namun boleh lah kita menaruh asa di pundak para sineas gres Indonesia. Semoga bisa semakin berdaya.
Asa 4: Genre
Sudah bukan rahasia lagi kalau genre seperti drama, komedi, dan horor adalah genre yang sangat populer di Indonesia. Bikinnya gak terlalu ngeluarin banyak biaya, produksinya bisa cepat, kemudian yang nonton bisa banyak karena memang pasarnya masih besar sekali. Tapi, agar bisa berkembang, perfilman nasional tidak selalu stay di zona nyaman. Ada baiknya keluar meng-eksplorasi teritori baru.
Di tahun 2018 kita sebetulnya sudah mulai berani breakthrough lewat film “Wiro Sableng”. Hanya saja, langsung terlihat kendala besarnya, yaitu di bagian visual efek dan itu tidak murah. Maka, dibutuhkan perencanaan yang matang agar apa yang nanti ditawarkan pada penonton bisa memenuhi ekspektasi dan sesuai juga dengan budget. Karena kalau sineasnya meminta pengertian dari penonton, bullshit! itu gak bakal bisa.
Penonton yang sudah biasa mengonsumsi film Hollywood pasti akan berharap hal yang setidak sama bisa diciptakan oleh film lokal. Atau seenggaknya, tidak malu-maluin, lah! Nah bisakah tantang tersebut dijawab oleh insan perfilman? Kita tunggu, mengingat ada dua “superhero universe” yang sudah ancang-ancang hingga beberapa tahun ke depan. Semangat, karena ini demi semakin beragamnya film dan hal tersebut akan membuat khazanah menonton kita semakin bertambah.

Asa 5: Naskah
Kami paham bahwa naskah adaptasi menjanjikan keuntungan yang lebih menjanjikan, namun tak ada salahnya untuk lebih membuka ruang bagi naskah asli. Ada keasyikan tersendiri loh ketika kita menonton sebuah film naskah asli.
Yang pertama, kita terbebas dari segala perbandingan antara film dengan original source-nya. Gak ada tuh namanya “bookworm curse”, apa “curse”, segala macam. Kedua, kita bisa mendalami maksud dari filmmaker. Apa yang ingin dia ceritakan, apa yang ingin dia tampilkan, terasa lebih bebas karena tidak terikat dengan tuntutan dari original source-nya.
Toh juga dua film yang bersaing ketat di FFI 2019 lalu adalah film-film naskah asli. Meskipun tidak menguasai Box Office layaknya film-film adaptasi, penting untuk film Indonesia terus menelurkan film-film orisinil dengan kualitas yang baik. Itung-itung bisa sekaligus menempa kualitas penulisan naskah juga kan?

Asa 6: International Recognition
Menurut kami, peluang terbesar kita untuk menembus Oscar adalah ketika “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” booming di dunia internasional. Isunya pun dapet, yaitu mengenai “women empowerment”. Sayang “Marlina” masih belum berhasil saat itu, pun demikian “Kucumbu Tubuh Indahku” yang mewakili Indonesia di tahun berikutnya.
Bila mencontoh kesuksesan tak terduga dari “Parasite”, mungkin kita perlu sedikit mengubah formula. “Parasite” adalah film dengan konflik lokal yang bisa relate sama dunia internasional, which is, sudah kita miliki. Tapi yang unik dari “Parasite” adalah, film ini juga rasanya asik sehingga ketika kita nonton tidak akan merasa bosan. Layaknya film-film komersil, lah!
Nah menurut kami ini yang belum pernah diciptakan oleh sineas Indonesia. Film yang tidak hanya memiliki konflik lokal rasa universal, namun juga asik untuk ditonton. Last but not least, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan dalam masa campaign.
Itu dia enam asa kami utuk perfilman Indonesia ke depan. Semoga setelah semuanya kembali normal kita bisa rame-rame lagi nonton film Indonesia di bioskop untuk merayakan kehidupan di negeri tercinta ini. Maju terus perfilman Indonesia!