“Let me get this straight. We’re living a Goosebumps story right now?” – Mr. Chu.
Apa jadinya jika sebuah film sekuel dibuat hanya dengan mengandalkan nama besar? Ya seperti inilah jadinya. By the way, nama besar yang dimaksud bukan Jack Black, melainkan kisah “Goosebumps” itu sendiri. Dengan kucuran dana yang lebih sedikit dari film pertama, kemudian porsi Jack Black yang agak dipaksakan, “Goosebumps 2” benar-benar kehilangan greget. Ibarat kata, film ini dibuat cuma untuk formalitas karena Goosebumps adalah hal besar. Sejak berpuluh tahun yang lalu, Goosebumps telah menjadi brand dari buku serial mengenai hantu yang populer di seluruh dunia. Jadi kalau sekuel dari film pertamanya tidak dibuatkan, ya sayang saja.
“Goosebumps 2” berpusat pada tiga orang anak yaitu Sarah (Madison Iseman), Sonny (Jeremy Ray Taylor), dan Sam (Caleel Harris). Suatu ketika, Sonny dan Sam menemukan sebuah buku yang terkunci ketika sedang membereskan rumah yang sudah tak berpenghuni. Ketika mereka mengalihkan pandangan dan kembali melihat ke buku tersebut, muncul sebuah boneka ventriloquist. Sam dan Sonny yang kebingungan kemudian membawa buku dan boneka itu ke rumah. Sesampainya di rumah, boneka ventriloquist tadi menunjukkan kesaktiannya. Selain dapat berbicara, boneka yang ternyata bernama Slappy ini juga dapat memindahkan benda-benda yang ada di hadapannya. Kaget setengah mati melihat apa yang bisa dilakukan oleh Slappy, Sam dan Sonny memutuskan untuk merahasiakan kesaktian boneka ini kepada Sarah. Sayang, mereka berdua tidak tahu kalau Slappy memiliki sebuah agenda tersendiri.
Dari awal film, “Goosebumps 2” sudah menunjukkan kelemahannya, yaitu berkaitan dengan unsur naratif. Seperti yang kita tahu, dalam membentuk sebuah narasi di dalam film, ada suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat. Ini biasa disebut dengan hukum kausalitas, yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Sebuah kejadian tidak bisa terjadi begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Sayangnya, film kurang berhasil dalam menghubungkan cerita dalam keterkaitan logika sebab-akibat tersebut. ketidakjelasan sudah muncul tatkala Sam dan Sonny pergi ke rumah yang tak berpenghuni. Awalnya mereka mendapatkan sebuah telepon dari orang tak dikenal. Anonim tersebut meminta tolong kepada Sam dan Sonny untuk sebuah membereskan rumah tua. Tidak diketahui apa alasan yang membuat si anonim menelpon Sam dan Sonny. Yang ada hanya percakapan klise yang berujung pada scene di mana dua anak ini sudah sampai di TKP.
Kemudian mengenai status sosial dari para karakter. Ini bisa kita lihat lewat kejanggalan yang muncul dari informasi yang diberikan. Seharusnya, film memberikan info yang kuat untuk mendukung cerita filmnya. Sayang, di sini justru terdapat ketidakcocokan antara apa yang dikerjakan oleh karakter utama dengan status sosial mereka. Dalam unsur setting, dekorasi tempat dapat menentukan pekerjaan dari para pelaku cerita. Setting untuk kalangan atas, kalangan menengah, dan kalangan bawah pasti akan berbeda. Ini kemudian memunculkan motivasi dari pelaku cerita yang ada di dalam setting tersebut.
Sayangnya, lagi-lagi terdapat keanehan di mana Sam dan Sonny, yang merupakan anak-anak dari kalangan menengah, justru melakukan pekerjaan sampingan yang seakan-akan menunjukkan kalau mereka berasal dari kalangan masyarakat kelas bawah. Melihat dari setting rumahnya saja, cukup bingung juga karena apa yang mereka berdua kerjakan terlihat tidak cocok sama sekali. Rumah Sonny termasuk nyaman, berlantai dua, dilengkapi konsol video game yang baru. Meski Sam tidak diperlihatkan rumahnya, namun terlihat kalau ia merupakan anak cukup berada.
Di salah satu scene, Sam nampak diantar oleh ayahnya menggunakan mobil. Sang ayah terlihat mengenakan jas dan bilang kepada ibu dari Sonny bahwa ia menitipkan Sam untuk beberapa hari. Kemungkinan ayahnya seorang “single father businessman”, tapi intinya adalah apa yang terlihat dari hal-hal yang mungkin bersifat perintilan, justru tidak “matching” dengan pekerjaan sampingan Sam dan Sonny. “Junk Brothers” berdiri sendiri sebagai satu proyek yang tidak jelas, dan sepertinya sengaja diciptakan hanya untuk membuka pintu menuju turning point pertama yang sudah tidak berkausalitas tadi.
Hal berikutnya yang menjadi nilai minus dari film ini adalah pemanfaatan tokoh-tokoh pendukung. Yang pertama adalah Walter, seorang penjaga toko yang nanti akan berkonfrontasi langsung dengan Slappy. Perkembangan karakter dari Walter sebenarnya bagus. Film ternyata memberikan dia jatah untuk berkembang, sehingga Walter, yang awalnya dikira hanyalah tokoh kecil, berubah menjadi karakter yang tidak diduga sebelumnya. Sayang sekali, mulai dari sana pula semua jadi berhenti. Walter berkembang, tapi karakternya yang baru ini tidak dipergunakan dengan baik dan semestinya. Ketika film sudah melewati klimaks, tokoh Sam membeberkan informasi kepada Walter tentang apa yang terjadi padanya. Penonton mungkin akan tertawa saat itu karena info yang diberikan Sam sesungguhnya tidak tampak sama sekali. Buang-buang frame saja.
Kemudian muncullah tokoh ini. Dia merupakan tokoh yang membuat film pertama tidak seburuk yang diduga sebelumnya. Dia pula yang memberikan optimisme bagi franchise film “Goosebumps”, meski kabarnya hanya mendapatkan peran minor di film kedua. Yap, Jack Black kembali sebagai R.L. Stine! Melihat dari promo film, penonton sebetulnya sudah dibuat berjaga-jaga untuk menurunkan ekspektasi. Oke tidak apa-apa. Kita menerimanya. Eh tau-tau, ketika film memasuki babak konklusi, kita dibuat bersemangat. Bukan hanya karena Jack Black pada akhirnya dimunculkan, namun juga bisa jadi perannya akan lebih besar dari yang diperkirakan atau kecil tapi penting.
Ternyata? Zonk! Jack Black sebetulnya tidak melakukan apapun di sini. Ia hanya bermobil dan film menampilkannya dalam beberapa scene. Ya, hanya ber-mo-bil. Ia sama sekali tidak memberikan pertolongan sedikit pun, apalagi terlibat dalam klimaks cerita. Penonton benar-benar di-PHP-in sama film ini. Sangat kecewa karena peluang untuk melihat Jack Black beraksi sebetulnya ada. Namun semua hangus tanpa sisa. Efeknya? Oh tidak main-main. “Goosebumps 2” punya kejutan di scene akhir yang melibatkan Jack Black. Tapi sayang, itu semua sudah tidak penting lagi.
Main course dari film ini adalah ketika Slappy menghidupkan Halloween dengan cara merapal mantra, kemudian mengaktifkan kembali pembangkit listrik ciptaan Tesla. Di sini film terasa lebih menyenangkan, cocok untuk membuat penonton anak-anak merasa terhibur. Film memanfaatkan desain produksi secara optimal guna merealisasikan tuntutan narasi, di mana kericuhan terjadi di malam Halloween. Jika mencari monster yang tampil spesial, monster balon berbentuk laba-laba raksasa menjadi jawabannya. Monster ini tidak hanya ditampilkan besar dan mengancam, namun juga menjadi pelaku cerita yang bisa meningkatkan tempo ke tahap resolusi.
Aktor komedi Ken Jeong juga unjuk gigi di sini. Di awal film, tokoh yang ia perankan yaitu Mr. Chu tampil layaknya tokoh-tokoh Ken lainnya. Mereka muncul, bertingkah bodoh, dan membuat penonton tertawa geli. Tapi saat “Goosebumps 2” memasuki main course, tokoh Mr. Chu memainkan peran yang lebih penting. Jika si monster balon membuat keadaan semakin runyam bagi ketiga karakter utama, Mr. Chu memberikan solusi optimis lewat cara yang menyenangkan. Sequence saat Sam dan Sonny berada di rumah salah satu teman mereka kemudian diserang oleh sekelompok permen gummy bear juga cukup menghibur.
“Goosebumps 2” adalah film yang memiliki sinkronisasi buruk antara narasi dengan pengadeganan. Keadaan semakin diperparah dengan karakter-karakter pendukung yang tampil kurang maksimal. Mungkin masih menyenangkan jika ditonton oleh anak kecil, tapi buat kita yang sudah dewasa, pastinya akan bertanya-tanya: buat apa buang-buang waktu hanya untuk film seperti ini? Jelas ini adalah sekuel yang tidak sesuai ekspektasi (meski ekspektasinya sudah diturunkan), dan membuat kita hampir tidak peduli lagi dengan apa yang ingin mereka tunjukkan setelahnya. We deserved better than this dummy.
Director: Ari Sandel
Starring: Madison Iseman, Jeremy Ray Taylor, Caleel Harris, Ken Jeong, Wendi McLendon-Covey, Chris Parnell
Duration: 90 Minutes
Score: 5.0/10