Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

‘First Man’, Biopik Neil Armstrong Dalam Mencapai Pendaratan di Bulan

Juventus Wisnu by Juventus Wisnu
October 10, 2018
in Movies
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“That’s one small step for a man, one giant leap for mankind.”- Neil Armstrong.

Neil Armstrong. Siapa yang tidak tahu namanya? Dia adalah astronot asal Amerika Serikat yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kakinya di bulan. Pada tahun 1969, Neil mendaratkan kapal luar angkasanya dan peristiwa itu menjadi sejarah besar. Amerika, yang saat itu berada di posisi tertinggal dari Uni Soviet, berhasil melakukan hal yang berada di luar dugaan. Tapi, perjuangan Neil dalam mencapai titik tersebut tidak mudah. Ini yang coba diangkat oleh sutradara pemenang Oscar, Damien Chazelle. Kembali “team-up” bersama Ryan Gosling yang pernah bekerjasama dengan Chazelle lewat La La Land (2016), Damien coba memberikan “behind the scene” dari peluncuran Apollo 11, yang ternyata penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian.

Film ini diangkat dari buku yang berjudul “First Man: The Life of Neil A. Armstrong”. Buku tersebut merupakan biografi yang ditulis oleh James R. Hansen. Genre biografi/dokudama sendiri merupakan pengembangan dari genre drama dan sejarah yang lazimnya memang hanya menceritakan penggalan kisah nyata dari tokoh berpengaruh yang menjadi sentralnya. Untuk itu, di dalam filmnya, latar waktu disesuaikan dari tahun 1961-1969.

Pemilihan ini dirasa tepat karena penonton ditampilkan pada saat Neil baru masuk ‘Project Gemini’, program awal dari NASA sebelum melaksanakan Apollo 11. Hal ini juga lah yang semakin memantapkan “First Man” sebagai dokudrama karena film dokudrama lebih menekankan pada momen peristiwa penting atau bersejarah yang pernah terjadi, bukan pada latar belakang sosok tokoh itu. Momen-momen penting, disaat sebelum Neil meluncur dengan Apollo 11, dihidupkan lagi lewat pengadeganan yang dibuat akurat dan tentunya mengandung nilai estetika.

Sejak menit pertama terdengar suara bergemuruh menderu dalam kokpit pesawat X-15 terbang yang dipiloti Neil Armstrong untuk menjelajah ke batas atmosfer bumi hingga ketinggian 47 km dengan kecepatan mach 3. Tes pilot yang berlangsung sukses itu menandai awal dari perjuangan panjang Neil Armstrong menuju ke bulan. Dari situ cerita berpindah fokus menceritakan keluarganya. Sisi harmonis diperlihatkan Neil bersama sang istri, Janet Armstrong (Claire Foy) bersama kedua anaknya, begitu juga ketika Neil kehilangan anak perempuannya yang masih kecil karena komplikasi. Tak ingin berlarut dalam kesedihan yang mendalam, Neil akhirnya mengikuti lamaran untuk menjadi astronot saat pendaftaran ‘Project Gemini’ pada tahun 1962 diadakan. Dari situ, karir Neil mulai menapak satu-satu hingga apa yang ia tunggu-tunggu sejak awal akhirnya bisa ia wujudkan di saat-saat terakhir.

Melihat dari segi cerita, penonton bisa melihat dua perbedaan yang tampak nyata. Film-film seperti “First Man” biasanya punya muatan patriotisme yang menonjol. Unsur ini secara eksplisit menunjukkan kalau Amerika itu hebat, kuat, bisa diandalkan, bisa dijadikan contoh bagi negara lain, dan sebagainya. Terlebih adanya perang antariksa yang meruncing dengan Uni Soviet yang kala itu beberapa langkah lebih maju. Tapi, di film ini Damien Chazelle berusaha untuk tidak menampilkan hal itu. Hingga akhir film, kita disuguhkan kepada sesuatu yang bisa dikatakan sebagai “patriotisme implisit”, atau “patriotisme yang pahit” karena pengorbanan dari apa yang dilakukan oleh Neil dan timnya sangat tidak sebanding dengan risiko yang bisa mereka dapatkan.

Film lebih banyak menunjukkan sisi lemah dari program antariksa ini, dan hal itu memang nyata adanya. Dari kacamata masyarakat umum, program luar angkasa dianggap sebagai bentuk pemborosan saat Amerika memasuki awal Perang Vietnam yang menguras tenaga, juga masalah rasialisme yang semakin memuncak di beberapa negara bagian menjelang akhir tahun 1970. Lalu dari sisi internal sendiri, tim dihadapkan pada sesuatu yang sejujurnya berada di luar jangkauan mereka semua. Ini terlihat seperti misi bunuh diri yang kesannya mewah dan secara resmi didukung pemerintah.

Poin kedua adalah mengenai drama. “First Man” juga mengandung nilai-nilai kekeluargaan mengingat Neil Armstrong saat masuk ke Program Gemini sudah memiliki anak. Hal ini kemudian coba dieksplorasi oleh Damien dengan cara menyampaikannya dari sudut pandang sang istri, Janet Armstrong. Lewat cara ini, penonton disuguhkan sesuatu yang menarik karena ada pemikiran berbeda yang masuk ke dalam film, yaitu pemikiran dari tokoh Janet.

Bagaimana ia menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang astronot yang nanti akan meninggalkannya untuk pergi ke bulan memang perlu untuk disajikan. Selain membuat karakter Janet menjadi kuat, penempatan ini dirasa tepat karena sesuai dengan tuntutan narasi, di mana seorang ibu pasti akan deg-degan atau risau ketika sang suami akan berjuang di sebuah area yang dulu masih ber-status asing bagi umat manusia.

Unsur drama ini semakin kuat ketika Janet berteman dengan sesama istri dari astronot Apollo 11. Dalam satu scene, penonton yang saat itu berada di posisi Janet akan merasakan kengerian dari risiko yang harus ditanggung oleh para istri jika saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada suami mereka. Semua ini pasti tidak akan tersampaikan dengan baik jika tokoh Janet tidak diperankan dengan baik oleh Claire. Meski jadi pemeran pendukung, performa Claire tetap bisa stand-out karena ia menampilkan karakter Janet secara realistis.

Bagaimana dengan Ryan Gosling sebagai Neil? Well, ternyata ini yang menjadi tantangan terbesar film karena di sini Ryan harus menjadi seorang aktor yang membawakan tokoh dengan sifat yang kalem, pendiam, terlihat stabil, private, bahkan cenderung introvert. Ini membuat Ryan tidak terlalu perlu untuk membawa karakter Neil ke arah yang emosional, namun lebih ke arah yang inspirasional lewat tindakan-tindakan nyata dan determinasi luar biasa.

Di satu sisi cara tersebut membuat tokoh Neil Armstrong sangat kentara ciri khasnya. Tapi di sisi lain, “less-emotional approach” yang diterapkan membuat Ryan kehilangan kekuatannya. Beberapa adegan emosional seperti ketika Neil menangis dan marah tetap ada, namun di sana ia tampil sendirian. Tidak ada tokoh lain di dalam frame. Ini membuat personifikasi Neil secara pribadi jelas terlihat di mata penonton, namun personifikasi Neil yang dilihat dari kacamata tokoh lain tidak terasa karena ketika berada di luar, Neil tampil ya itu tadi: kalem, pendiam, dan private.

Apakah ada pengaruhnya? Oh ada. Penonton pastinya akan bertanya, kenapa bukan karakter lain? Bahkan di NASA sekalipun, menganggap Neil sebagai orang yang penting. Pastinya iya, Neil Armstrong banyak dipuji teman sejawatnya sebagai pilot dan teknisi yang jenius, bahkan ketika teman-temannya pada tewas akibat beberapa eksperimen menjelang ke bulan, dia tetap tegar dan mentalnya tak terpengaruh. Akting Ryan Gosling membuktikan semua itu. Tekanan dan keinginannya yang kuat ke bulan membuat ia cenderung depresi dan lebih tertutup terhadap keluarganya, namun semua itu terbayar tuntas lewat penjiwaannya yang luar biasa.

Sisi teknis justru menjadi keunggulan utama dari “First Man”. Film ini memanfaatkan banyak teknik yang membuat perjalanan ke bulan menjadi lebih menegangkan sekaligus mengagumkan. Karena berlatar tahun 60-an, film ini tentu akan menggunakan pendekatan berbeda jika dibandingkan dengan film-film sci-fi luar angkasa yang populer akhir-akhir ini seperti “Gravity” dan “Interstellar”.

Untuk tone warnanya, “First Man” menerapkan teknik color grading kekuningan khas tahun 60-an. Nuansa nostalgia ditonjolkan secara menyeluruh lewat warna-warna grainy yang cenderung kasar. Ini jelas berbeda dengan film-film Chazelle sebelumnya, di mana “Whiplash” lebih bernuansa kelam sedangkan “La La Land” menawarkan konsep tone warna yang sangat colorful. Tidak hanya itu, font huruf juga menjadi perhatian sang sineas. Demi mendukung aspek naratif yang berada di tahun 60-an, film menggunakan jenis font yang sesuai dengan keadaan.

Kemudian mengenai teknik kamera. Sebagai film biografi/dokudrama tentang astronot yang pergi ke bulan, maka film ini menggunakan dua teknik berikut; roll dan handheld. Roll adalah pergerakan kamera memutar 180 derajat atau hingga 360 derajat. Meski begitu, posisi kamera tetap pada porosnya. Pergerakan kamera ini didemonstrasikan oleh film dengan baik, yaitu saat para astronot sudah berada di luar angkasa. Walaupun momennya tidak banyak, namun ketika teknik ini diperagakan penonton akan langsung sadar dan terpana karena selain pergerakannya, gambar yang diambil juga berkesinambungan.

Kemudian untuk handheld, ini merupakan teknik pengambilan gambar layaknya film dokumenter. Kamera dibawa langsung oleh tangan tanpa menggunakan alat bantu lainnya seperti tripod atau steady cam. Kesan dinamis muncul dari teknik ini, namun untuk “First Man” kesan realistis lah yang membuat film semakin asik untuk dinikmati. Genre dokudrama yang menampilkan kisah nyata memang cocoknya ditampilkan dengan gaya macam ini, terutama untuk scene-scene yang berlatar tempat bukan di luar angkasa seperti di rumah atau kantor.

Terakhir, shot yang dipengaruhi oleh dimensi (jarak) kamera. “First Man” kerap menggunakan tipe close-up untuk memperlihatkan wajah dari tokoh yang menjadi obyek kamera. Penonton bisa melihat raut wajah dari para aktor dalam memeragakan ekspresi-ekspresi tertentu sehingga aspek emosi bisa menjadi inti dari momen semacam ini.

Kualitas suara (sound) jadi highlight berikutnya. Aspek ini mendukung narasi film, terutama ketika ceritanya sedang menempatkan para tokoh di dalam roket yang sedang lepas landas. External diegetic sound dan akurasi yang pas membuat scene yang menyangkut dua hal tadi terasa menegangkan. Sifat obyektif dari external diagetic sound menghasilkan suara-suara yang membuat tidak hanya astronot, namun juga penonton merasa tidak nyaman.

Didukung pengambilan gambar yang little bit shaky, posisi point of view dari arah penonton, dan framing yang ketat, unsur sound jadi berpadu dengan efek khas klaustrofobik. Hasilnya? Perjalanan jadi semakin menyeramkan dan rasanya ingin segera kembali ke Bumi saja. Sebaliknya, ada kalanya film juga mematikan teknik ini ketika berada di momen-momen tertentu. Timing yang pas menghasilkan sensasi tersendiri, di mana telinga kita berasa hilang atau copot.

Untuk tampilan estetikanya, film bermain dengan pencahayaan. Rancangan tata lampu yang digunakan secara low-key menciptakan batasan tegas antara gelap dan terang. Ini cantik sekali dipergunakan ketika Neil sudah berada di luar angkasa. Unsur bayangan yang tegas dalam mise-en-scene menciptakan sebuah efek yang biasa disebut ‘chiaroscuro’. Kerennya, jika ‘chiaroscuro’ pada umumnya berwarna hitam dan abu-abu atau hitam dan putih, di “First Man” ada kalanya efek ini tampil dengan warna hitam dan biru muda. Perpaduan kedua warna ini memancarkan aura yang intim, cantik sekaligus dingin. Belum cukup, pemanfaatan wide angle memperlihatkan panorama angkasa luar secara luas.

Dengan unsur naratif yang memasukkan porsi drama lebih besar, “First Man” adalah kebalikan dari film yang mengandung unsur patriotisme Amerika. Claire Foy dan Ryan Gosling merealisasikan hal tersebut lewat karakter masing-masing, meski konfliknya lebih nendang dari sisi keluarga sang astronot, yang mana dibawakan oleh karakter Janet Armstrong. Tidak banyak kekacauan atau masalah yang bisa kita lihat dari sisi NASA, meski memang terdapat masalah teknis dan pesimisme di sana. Untuk hal eksekusi tidak usah ditanya lagi. Film ini seharusnya bisa meraih beberapa nominasi di “Oscar season” nanti.

 

Director: Damien Chazelle

Starring: Ryan Gosling, Claire Foy, Kyle Chandler, Pablo Schreiber, Corey Stoll, Ciaran Hinds, Jason Clarke, Christopher Abbott

Duration: 141 Minutes

Score: 8.2/10

Tags: Christopher AbbottCiaran HindsClaire FoyCorey StollDamien ChazelleFirst ManFirst Man: The Life of Neil A. ArmstrongJames R. HansenJason ClarkeKyle ChandlerPablo SchreiberPopularRyan Gosling
Juventus Wisnu

Juventus Wisnu

“Don't ask yourself what the world needs, ask yourself what makes you come alive. And then go and do that. Because what the world needs is people who have come alive.”

Related Posts

paul mescal

Paul Mescal Bergabung dalam Film Adaptasi ‘Strangers’

July 2, 2022
barbie

Gini Suara Barbie dari Margot Robbie di Set Film ‘Barbie’

June 28, 2022
Barbie

Warner Bros Bagikan Foto Ryan Gosling sebagai Ken di ‘Barbie’

June 16, 2022
the gray man

‘The Gray Man’ Tunjukkan Para Karakter Utama Lewat Poster Baru

May 25, 2022

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse Banner Cineverse Banner Cineverse Banner
ADVERTISEMENT

Cineverse

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In