Sudah menjadi ritual sebelum musim balapan Formula One bergulir, kita nonton docuseries “Drive to Survive”. Di sini Netflix menyajikan drama baik di dalam maupun di luar lintasan balap.
“Drive to Survive” sendiri memiliki sistem di mana series itu akan menampilkan storyline berdasarkan apa yang terjadi di season sebelumnya. Jadi, pas sih itungannya jika menjadikan “Drive to Survive” ini sebagai bekal sebelum mengarungi musim balapan yang baru.
Seperti yang kita tahu, Formula One itu tidak hanya soal pembalap, meski itu adalah hal utama dan paling menarik. Formula One juga mengenai tim yang ada dibalik cepatnya mobil balap tersebut. Kemudian Formula One juga menyangkut siapa yang berada dibalik tim itu. Sejauh ini DTS menyajikan seluruh hal tersebut. Dan ini lah yang paling berasa ketika menonton season ketiga.
Peran dari para bos tim proporsinya nampak lebih naik dibanding season sebelumnya. Christian Horner, bos Red Bull Racing, menjadi yang paling banyak mendapat spotlight. Ada satu scene menarik di mana Christian menghubungi seorang pembalap yang saat itu sudah kehabisan kontrak.

Entah apakah ini gimmick atau bukan namun penempatan scene tersebut dan juga bagaimana konfliknya diceritakan membuat momen ini jadi salah satu yang paling diingat dari DTS Season 3.
Masih soal teknis, DTS terkenal dengan alurnya yang maju-mundur. Kita gak pernah dikasih storytelling yang runut dari balapan satu ke balapan berikutnya dan seterusnya sampai akhir berurutan. No, and that’s good. Hal ini tetap dipertahankan dan Netflix menampilkan satu inovasi baru lewat animasi yang menggambarkan pergerakan maju-mundurnya timeline ini. Sah satu yang membingungkan dari DTS adalah penanda waktu yang kelewat sederhana untuk sebuah alur series yang maju mundur. Netflix untungnya menyadari hal tersebut sehingga di Season 3 kita tidak perlu kebingungan lagi dalam menyusun momen demi momen.
Sebagai sebuah docuseries, interview menjadi hal kunci. Tidak hanya kita sebagai penonton bisa mendapatkan informasi, selain itu kita juga bisa melihat, “Oh orang itu kayak gini ya” dari gaya berbicaranya. Paling kan kalau yang udah biasa muncul ngomong di publik ya Lewis Hamilton. Nah di DTS kita bisa lihat lebih banyak warna dari orang-orang yang ada di F1.
Satu yang paling mengesankan adalah Lawrence Stroll. Oh my God, He looks terrifying and very intimidating. Episode yang menampilkannya pun sudah ada dari awal jadi kita bisa langsung tertarik lewat aura yang dipancarkan oleh bos besar tim Racing Point tersebut.

Kemudian wawancara berikutnya yang eye catching adalah di bagian Romain Grosjean. Cilers pasti tahu apa yang dibahas di sini, dan pada kesempatan tersebut Netflix menyertakan sang istri untuk diwawancarai bersama.
Ketika merekam podcast ngomongin preview DTS Season 3, Ditya dari Komunitas F1 Speed Indonesia bilang, bagian Grosjean ini semoga aja bisa menunjukkan bagaimana medis dari Formula One bekerja dalam situasi paling berbahaya.
Ini benar sekali, apalagi DTS lebih ditujukan untuk audiens yang umum sehingga kita pun perlu untuk mengetahui hal yang sedikit lebih dalam dari sisi medis. Mungkin bisa denan bermain point of view. Cuman ternyata hal ini tidak terlalu difokuskan. Bagi yang sudah menonton konten-konten media yang meliput soal Grosjean, bagian yang satu ini tidak drama namun tidak memberikan sesuatu yang baru juga.
Berbicara mengenai hal baru, DTS Season 3 menjadi awal baru bagi “karir akting” Lando Norris. Selain Daniel Ricciardo, Lando memang merupakan pembalap yang menonjol dari segi karakter. Kali ini, ‘Drive to Survive’ menyorotnya dari awal. Termasuk diantaranya friksi antara dia dengan Carlos Sainz.
Ini bisa dikatakan hal yang cukup dibuat-buat oleh Netflix karena tidak seperti friksi lain antar sesama pembalap satu tim (contoh: Perez dan Ocon), apa yang dijadikan clash antara Lando dan Sainz masih tipis. Kemudian masih soal pembalap, DTS sama sekali tidak menampilkan “Hulkenback”. Kembalinya Nico Hulkenberg ke Formula One walaupun hanya sebagai pembalap pengganti.

Dari role-nya, sebetulnya Hulkenberg ini punya peran sebagai momen yang mendefinisikan uniknya musim balapan Formula One saat pandemi. Apalagi ditambah bumbu-bumbu last minute call. Nico pun awalnya sempat tidak bisa membalap sehingga hal ini semakin cocok untuk ditampilkan dalam series tapi sayang itu tak terjadi.
DTS lebih banyak menyorot pertarungan papan tengah secara luas dengan konflik terkait pembalap sebagai etalasenya. Dari awal sudah dikasih lihat masalah Racing Point yang dianggap ilegal dalam mendesain mobil. Kemudian persaingan papan tengah setelahnya akan terus berlanjut hingga akhir episode.
Efek samping? Ada. Selain melewatkan momen yang bisa dibilang mendefinisikan musim kala pandemi, terlalu sibuk dengan McLaren-Renault-Racing Point bikin satu momen berharga lagi luput, yaitu Claire Williams yang pada akhirnya melepas tim Williams. Ini bisa jadi blunder, apalagi buat fans, ya. Williams adalah tim yang sudah lama berada di Formula One.
Lepasnya campur tangan keluarga Williams harusnya didokumentasikan karena menandakan sebuah era baru. Mungkin Netflix sudah lelah menyorot tim papan bawah, namun denan mundurnya keluarga Williams, ini bukan lagi soal persaingan di atas trek semata.

Oh satu lagi. Masih terkait momen, Netflix juga melewatkan satu capaian sejarah yang super duper penting di Formula One yaitu Lewis Hamilton yang menyamai rekor juara dunia Michael Schumacher sebanyak tujuh kali. Kemudian Lewis juga menjadi pembalap dengan kemenangan balapan yang paling sepanjang sejarah. Itu bisa banget diangkat, dan lebih jauh lagi, disambungkan dengan bagaimana Lewis melihat perannya di olahraga Formula One untuk menyuarakan keadilan.
Seperti yang kita tahu, 2020 diwarnai oleh kejadian keji yang membuat dunia olahraga mengutuk keras tindakan rasisme. Mercedes sendiri mengubah livery mereka menjadi hitam, lalu Formula One memberlakukan kampanye Black Lives Matter. Daripada hal ini hanya ditampilkan di akhir, mendingan dijahit sama prestasi luar biasa yang ditorehkan oleh Lewis Hamilton di musim balap yang lalu. Feel-nya bisa lebih dapet, daripada yang ada di series. Berasa maksa.
Terlalu fokus di “Midfield Battle” membuat ‘Drive to Survive’ melewatkan momen-momen penting. Mulai dari momen yang mendefinisikan situasi musim Formula One saat itu, hingga momen yang sangat berkaitan dengan sejarah Formula One itu sendiri. Netflix nampaknya masih nyaman untuk bermain dengan formula-formula lama.

Gak ada salahnya sih. Toh masalah soal Racing Point mampu bikin series-nya jadi panas. Cuman hal-hal lain seperti friksi antar pembalap setim yang memperebutkan seat itu udah mulai bosan lihatnya. Mau ada Mick Schumacher di dalamnya juga belum ngaruh karena belum waktunya. Drama ini pun disajikan dalam konflik yang kurang penting (no it’s not about Ferrari. Luckily DTS nailed for this one), lalu hal-hal yang merupakan perluasan dari apa yang pernah diceritakan di season sebelumnya.
Itu sama sekali gak membantu. Apa yang membuat Formula One itu berbeda di tahun 2020 belum ditampilkan seutuhnya di ‘Drive to Survive’ Season 3.
Executive Producer: James Gay-Rees, Paul Martin
Cast: Lewis Hamilton, Valtteri Bottas, Max Verstappen, Alex Albon, Carlos Sainz, Lando Norris, Sergio Perez, Lawrence Stroll, Daniel Ricciardo, Esteban Ocon, Pierre Gasly, Sebastian Vettel, Charles Leclerc, Kevin Magnussen, Romain Grosjean, Antonio Giovinazzi, Kimi Raikkonen, Mick Schumacher, Guenther Steiner, Toto Wolff, Christian Horner, Cyril Abiteboul, Ottmar Szafnauer, Lance Stroll, Frederic Vasseur, Helmut Marko, Matia Binotto
Score: 7.0/10
WHERE TO WATCH
The Review
Drive to Survive Season 3
Drive to Survive Season 3 mengulas ketegangan yang ada di balik balapan Formula 1 mulai dari manajer tim, pembalap hingga pemilik tim. Juga kompetisi sengit antar pembalap di tim yang sama