Estetika Noir ‘The Batman’ Adalah Kutukan Sekaligus Berkat

Tidak seperti film Batman sebelumnya, Reeves memiliki orientasi berbeda terlebih lagi pada gaya estetika noir pada film sukses terbarunya.

 

Dalam ‘The Batman’ karya Matt Reeves, dia dan sinematografernya Greig Fraser memperlihatkan Gotham City dengan cara yang tidak biasa dalam film Batman sebelum-sebelumnya.

Bukan seperti supercity metropolitan yang samar-samar dari trilogi Dark Knight karya Christopher Nolan, juga bukan kreasi kaleidoskopik Gotham yang sangat bergaya dari Joel Schumacher.

Reeves bersama desainer produksinya James Chinlund memiliki satu visi dimana mereka ingin menampilkan Kota Gotham secara intrinsik terkait dengan cerita dan karakternya.

Dengan fokus cerita Bruce Wayne (Robert Pattinson) yang jengkel dibebani oleh warisan keluarganya, ditambah menghentikan serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh Riddler (Paul Dano) dan berharap dapat membuka kedok koruptor yang mengganggu kota.

Bersamaan dengan arsitektur Gotiknya yang memudar, film ini mengambil inspirasi dari film-film David Fincher dalam bayang-bayang noir dengan palet warna Stygian.

Dalam banyak hal, suasana kota yang usang tampaknya menjadi proyeksi utama dari pahlawan dan antagonis dari film tersebut.

The Riddler memandang Gotham sebagai sekam korup seperti dirinya yang sebelumnya, menggali janji-janji yang diingkari, dan jalan-jalan yang becek dan kotor mencerminkan korupsi yang meluap-luap ke permukaan. Demikian pula, Bruce Wayne oleh Pattinson yang dihantui oleh trauma masa lalunya.

Dalam film noir, perubahan bertahap dari hitam dan putih biasanya menggambarkan beberapa ambiguitas internal atau sinisme yang dipegang oleh karakter utama.

Dalam ‘The Batman’, Bruce pesimis tentang keadaan Gotham, dia melihat ketakutan sebagai satu-satunya alat yang berfungsi untuk menahan tingkat kejahatan yang melesat ke atas dengan cepat.

Meskipun dia masih menggunakan bayangannya saat mengenakan setelan itu, kabut perseteruan yang menyelimuti seluruh kota justru menunjukkan sesuatu yang lebih jahat.

Digabungkan dengan kemampuan framing Fraser yang lebih padat juga dangkal, menghasilkan Gotham yang disajikan di hadapan Bruce sangat mencekik, menantang Caped Crusader untuk mencoba menyelamatkannya.

Saat ‘The Batman’ mengeksplorasi Bruce yang hancur secara internal ke tingkat yang belum pernah dijajahi di film Batman sebelumnya, gaya Reeves dan Fraser tidak disangkal dapat membuat tergugah.

Kerap kali, dalam rangkaian gambar seperti penculikan Jaksa Wilayah Colson (Peter Sarsgaard) dan setiap pengambilan gambar matahari oranye yang bersinar di atas langit, menghasilkan style gambar yang sangat menakjubkan.

Estetika noir terbukti sempurna untuk film misteri berdurasi tiga jam yang di mana Batman akhirnya mendapat kesempatan untuk mempertajam kemampuan investigasinya.

Namun, estetika bukan tanpa keterbatasan. Bingkai yang rapat, fokus dangkal, dan sudut subjektif tidak sepenuhnya baik untuk film blockbuster Hollywood yang memiliki anggaran besar, meskipun Reeves sudah berusaha meyakinkan kita bahwa filmnya tidak demikian, padahal sebenarnya memang seperti itu.

Dalam genre yang berskala besar dan kekaguman yang menginspirasi, Reeves harus menyesuaikan inti blockbuster yang sudah melekat tetap dari filmnya dengan kepekaan noir yang lebih ia minati.

Sepanjang set-pieces ― adegan besar dan original yang menarik dalam film biasanya memiliki anggaran paling besar dalam aksi Batman yang mendebarkan, Reeves membuat pendekatannya jelas tentang bagaimana dia menyatukan dua kekuatan yang berlawanan dari filmnya. Namun, Reeves tetap memiliki satu tujuan untuk memvisualisasikan perjuangan internal Batman di seluruh utas aksinya.

Dalam adegan setelan jubah Batman yang meluncur dari atap GCPD dan pengejaran mobil menggunakan Batmobile dengan Penguin (Colin Farrell), pada saat itu Reeves menggandakan estetika noir film tersebut.

Hasil untuk kedua rangkaian adegan tersebut menjadi sangat membingungkan, karena pengambilan gambar yang sepenuhnya bertentangan dengan yang berlaku dalam film-film blockbuster.

Dalam kasus adegan yang meluncur, Reeves memiliki tujuan jelas dengan menempatkan penonton dalam ketidaknyamanan yang sama seperti yang dirasakan Batman muda saat ia jatuh dari atap gedung GCPD. Pengambilan gambar subyektif yang tetap dan berulang di seluruh rangkaian adegan tentu saja dapat menghasilkan efek ini, tetapi Reeves menolak beralih satu inci pun untuk mengambil gambar dengan sudut yang lebih lebar.

Reeves masih saklek dengan gaya estetika noirnya dan berusaha melampaui batasannya, namun realitas tertinggi dari karakter buku komiknya tidak pernah berhasil berpadu dengan pendekatan detektifnya yang membumi.

Aksi kejar-kejaran yang menggunakan Batmobile seharusnya menjadi aksi pengejaran yang mirip dengan ‘Batman Begins’ milik Nolan, tetapi Reeves justru menyatakan bahwa urutan aksinya tersebut mengambil inspirasi besar dari adegan serupa di ‘The French Connection’ karya William Friedkin, di mana kejar-kejaran mobil difilmkan seolah-olah itu adalah perpanjangan dari obsesi karakter utama.

Di ‘The Batman’, adegannya benar-benar kacau, tetapi secara gaya tampak hilang di antara estetika noir yang matang, penghormatan pada film detektif 70-an yang tegang, dan realitas buku komik yang menuntut lebih banyak ruang untuk bernapas.

Reeves tidak pernah bisa menemukan cara untuk menggabungkan ketiganya, dan akibatnya, pengejaran terasa seperti angin yang membingungkan dalam artian yang buruk.

Reeves gagal memadukan disposisi terpisah dari filmnya karena hal itu pernah berhasil dilakukan di masa lalu, dan dalam film Batman tidak lagi kurang.

Christopher Nolan tidak pernah mencoba untuk menyembunyikan pengaruh crime saga ‘Heat’ milik Michael Mann tahun 1995 pada perjalanan Caped Crusader yang dipimpin Christian Bale, ‘The Dark Knight’.

Dalam film ‘The Dark Knight’, Nolan menolak hal yang dilakukan Reeves untuk dicoba dalam filmnya. Banyak hal lain yang sudah dicapai ‘The Dark Knight’, di antaranya berhasil dalam membuat pastiche ― peniruan langsung dari drama kriminal tahun 90-an seperti ‘Heat’ tetapi juga tetap setia pada kecenderungan sebagai film blockbuster.

Pada akhirnya, penolakan tegas Reeves terhadap sesuatu yang dia yakini akan melemahkan filmnya yang sangat mengagumkan ini.

Untuk sebagian besar ‘The Batman’, estetika noir bekerja dengan baik persis seperti yang dimaksudkan, ia dengan mulus menempatkan penonton menjadi Batman yang tersiksa oleh masa lalunya dan “limbah kota” di sekitarnya.

Menggabungkan desain produksi Chinlund yang sempurna, sinematografi Fraser yang membawa kehidupan baru ke Kota Gotham.

Bahkan selama adegan di mana estetika noir terbukti tidak terlalu fleksibel untuk materi, kesalahan langkah yang Reeves lakukan adalah kesalahan perhitungan yang patut dipuji.

Reeves tidak takut untuk mencoba hal baru dengan pahlawannya dan pendekatannya terbukti salah di samping ambisinya yang tidak ingin bermain terlalu aman.

Exit mobile version