Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

‘Dilan 1991’, Kisah Kasih Dilan dan Milea yang Terus Berlanjut

Juventus Wisnu by Juventus Wisnu
March 1, 2019
in Movies
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Rilis pada Januari tahun lalu, film pertamanya yaitu “Dilan 1990” secara tak terduga menjadi film dengan raihan penonton terbanyak nomor dua sepanjang sejarah perfilman negara. Film ini bahkan mengungguli film Hollywood yang saat itu rilis berdekatan yaitu “The Maze Runner: Scorch Trials”. Hingga masa penayangannya habis, “Dilan 1990” ditonton oleh lebih dari enam juta penonton!

Sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat film itu dibintangi oleh dua aktor bau kencur; Iqbaal Ramadhan eks boyband cilik “Cowboy Junior” dan Vanesha Prescilla. Tak pelak, hasil ini membuat sekuelnya, “Dilan 1991”, sangat diantisipasi. Laporan terakhir yang kami dapat, jumlah layar yang menayangkan “Dilan 1991” pada hari pertama perilisan di seluruh bioskop mencapai lebih dari 1.230 layar. “Infinity War level”, tweet akun ‘Bicara Box Office’ di linimasanya.

Merupakan “direct sequel” dari 1990, “Dilan 1991” masih memiliki konsep cerita yang sama. Milea (Vanesha Prescilla) tetap di-plot sebagai karakter utama, terlihat jelas dari prolog yang ada di awal. Opening ini sama persis dengan yang ditunjukkan oleh 1990, sebelum shot kemudian berganti saat Dilan (Iqbaal Ramadhan) dan Milea berboncengan di bawah rintik hujan. Dilan saat itu masih ber-status sebagai “Panglima Tempur” geng motor. Ia yang sudah resmi berpacaran dengan Milea, kini akan dihadapkan dengan satu masalah serius, yang mana masalah ini pertama kali muncul tatkala Milea dan Anhar, salah satu teman Dilan, bersitegang di kantin belakang sekolah.

Melihat dari sini jelas kalau kamu sebaiknya nonton film yang pertama dulu. Bukan apa-apa, konflik utama di film ini saja merupakan buntut dari apa yang dilakukan oleh dua karakter utama di kisah pertamanya. Jika saja kamu “blank” sedikit, maka feel dan pemahamannya tentu tidak akan sama. Bisa jadi kamu akan menganggap bahwa tahap persiapan di film kedua ini sangat lemah sehingga konfliknya jadi kurang greget, padahal ini justru merupakan hasil dari tahap konflik di film pertama.

Ibarat kata, film pertama memiliki ending yang bercabang. Cabang positifnya sudah mereka sajikan lebih dulu, yang mana Dilan dan Milea resmi berpacaran. Nah, cabang negatifnya mereka taruh di film kedua, saat apa yang dilakukan Dilan demi membela Milea berakibat fatal, tidak hanya bagi hubungan mereka berdua tapi juga urusan personalnya.

Ini yang kita harapkan muncul di film kedua. Konflik yang lebih mantap! 1990 jelas tidak memilikinya. Dilan 1990 hanyalah sebuah film romansa cheesy, yang dibombardir dengan rayuan-rayuan gombal puitis dari Dilan kepada Milea. Konfliknya pun receh pisan, sangat khas ala konflik percintaan anak SMA yang identik sama cinta monyet. Dilan 1991 masih tetap memiliki poin-poin tersebut.

Hanya saja, di titik tertentu mereka cukup berhasil menaikkan konfliknya dengan taruhan yang lebih besar. Ini membuat penonton bisa lebih mengerti kenapa keretakan antar Dilan dan Milea bisa terjadi. Tapi, bukan berarti ini merupakan berita yang seratus persen bagus juga. Ada hal negatif yang terlihat dari penggambaran cerita “Dilan 1991”.

Pertama adalah penggunaan teknik batasan informasi cerita. Perlu diingat bahwa sama seperti “Dilan 1990”, film ’91 masih bercerita dari sudut pandang Milea. Gadis ini masih menjadi karakter utama meski judulnya adalah ‘Dilan’. Nah, karena itu film hanya menyajikan satu point of view yang di sini sangat jelas terkespos, yaitu dari mata karakter Milea saja. Maka dari itu, konflik demi konflik yang nantinya bermunculan semuanya akan kita rasakan dari sudut pandang Milea.

Tahu-tahu ada berita A, kita tahunya di saat Milea diberi tahu oleh Piyan. Begitu juga dengan berita B, berita C, dan seterusnya dan seterusnya. Semua dirasakan ketika Milea diberi tahu oleh Piyan. Ini berarti “Dilan 1991” menggunakan batasan informasi tertutup, atau restricted narration. Tujuannya adalah untuk membangun kejutan bagi penonton karena penonton hanya mengukuti narasi dari sudut pandang tertentu saja.

Di satu sisi, restricted narration dari “Dilan 1991” bisa mengatur tempo. Bagaimana film mau menaikkan level konfliknya dari level yang rendah ke level yang lebih tinggi bisa terlihat dari sini. Syukur, pace yang diatur oleh restricted narration ini cukup berjarak sehingga kenaikan tingkatan permasalahan dari level bawah ke level atas menghasilkan irama yang enak. Hanya saja, di sisi lain film jadi jomplang.

Bersiap lah untuk menyaksikan kesedihan Milea yang berlarut-larut. Sedikit-sedikit mewek. Begitu emosional. Tidak ada scene Dilan berantem membuat keonaran. Kurang seru lah. Itu semua tertutupi pergulatan batin Milea yang semakin lama semakin dicoba. Kemudian setelah beberapa konflik menerpa, terdapat pengulangan metode penyelesaian yang sama. Sebuah anomali karena tidak biasanya kita bisa sedekat itu dengan ibu dari pacar kita.

Bagaimana dengan gombalan-gombalannya? Masih ajib lah. Iqbaal masih piawai dalam melontarkan dialog-dialog sakti, yang meski kesannya alay namun ini menjadi hiburan tersendiri. Buat penonton wanita, siapa sih yang tidak suka digombalin? Kemudian untuk penonton pria yang datang ke bioskop menemani pacarnya, gombalan macam ini akan membuatmu jengkel, but in a good way possible. Kita mungkin bakal mencak-mencak sambil berkata “ahhh… Bisa aje lu” dan semacamnya. Tapi anehnya, kita mengatakan “sumpah-serapah” tersebut sambil tertawa.

Kemudian momen-momen yang sangat diingat dari film ini selain berasal dari gombalan Dilan juga datang dari hal yang lain. Ada yang menggunakan hipnotis, ada yang tidak sengaja menyebutkan satu kata yang sama, dan lain-lain. Ini membuat unsur romansa “Dilan 1991” lebih berwarna dibandingkan dengan film sebelumnya. Performa Iqbaal dan Vanesha memang sangat cocok dipasangkan berdua sehingga momen-momen seperti ini jadi mengalir penuh rasa.

Sayang, ada hal-hal kecil yang mengganggu di sepanjang film. Beberapa diantaranya merupakan konflik sampingan yang nyatanya tidak terlalu ngefek. Hanya tambahan runtime saja sambil mencoba untuk memperkaya cerita Milea. Pertama, Kang Adi (Refal Hady). Dia adalah guru les Milea yang sudah muncul dari film pertama. Besar harapan penonton, apalagi yang tidak membaca novelnya, untuk melihat peran Kang Adi yang lebih besar di film kedua. Sayang, orang ini masih tidak berdampak signifikan dan langsung dibikin K.O di awal film. Zonk banget lah.

Kedua ada Yugo. Dia adalah saudara jauh Milea yang baru kembali dari Belgia. Di sini kita bisa melihat bahwa Yugo membawa satu perilaku yang berbeda dengan kebanyakan orang di Indonesia. Ke depannya, tools ini digunakan untuk meningkatkan tensi dan chaos dari dalam lubuk hati Milea. Namun tetap, sebelas dua belas dengan Kang Adi, Yugo juga sekedar aji mumpung tak menghasilkan sesuatu yang membekas.

Belum selesai, ada karakter Pak Guru yang diperankan oleh maestro pemeran pendukung dalam perfilman Indonesia, yaitu Ence Bagus. Di dalam bukunya memang diceritakan ada guru yang kesengsem sama Milea, makanya jangan heran kalau karakter ini hadir di dalam film. Dimunculkan menjelang sepertiga akhir, Pak Guru pelajaran Bahasa Indonesia ini dibawakan secara komikal oleh Ence. Dia konyol, dengan tampilan yang kurang menjanjikan sebagai seorang guru. Sangat jelas dari awal kemunculannya, Pak Guru gak bakal membawa masalah yang besar. Arahan yang bisa diasumsikan lewat karakter ini adalah, film mencoba untuk bervariasi dalam menghadirkan pria-pria lain yang muncul mengagumi Milea.

Tidak hanya mereka yang terlihat serius, namun ada juga yang rada becanda. Tapi Pak Guru, dengan puisi yang ditulisnya, belum cukup untuk mengambil hati Milea dan juga kita yang menontonnya. Terakhir, ada satu shot yang tidak perlu, yang diambil ketika Porseni. Di sini Milea yang sedang nonton basket bertatap-tatapan dengan “arc rival” nya yang sempat dekat juga sama Dilan. Tidak jelas narasi apa yang ingin dimunculkan dari shot ini. Apakah film ingin memunculkam konflik baru lagi, atau ingin mengenang memori lama. Yang pasti shot ini muncul secara tak terduga dan kesannya mubazir. Kalau adegan ini dipotong juga sebenarnya baik-baik saja.

Mengenai mise-en-scene, “Dilan 1991” punya kelemahan besar. Bukan cara penggambaran Bandung di dalamnya, melainkan product placement yang terlalu dipaksakan plus out of narration context. Tercatat dua kali adegan ini memperlihatkan adanya kesamaan desain dari satu produk yang sama namun tampil dalam dua periode yang berbeda. Sayang, tampilan ini sangat rough, nge-jreng, aneh, pokoknya eye-catching sekaligus eye-irritating deh! Jika mengesampingkan sifat waktu dari produk yang bersangkutan, maka masih ada hal yang tidak sesuai.

Desain dari produk tersebut sangat modern, jelas tidak cocok dengan latar waktu film yang ada di tahun 90-an. Untuk sinematografinya, shots dilakukan sesuai dengan tuntutan naratif. Salah satu yang paling diingat adalah ketika film memperkenalkan karakter ayah Dilan. Di sini sineas bermain dengan teknik sudut kamera yaitu low angle dan high angle yang mampu memberi kesan dominan dan inferior, tergantung pada sosok yang sedang on-frame.

Selain itu ada juga teknik “Establishing Shot”. Ini merupakan sebuah shot yang menggunakan jarak cukup jauh (long shot). Yang ingin ditonjolkan dari unsur sinematiknya jelas adalah hubungan spasial antara tokoh yang ada dan juga set atau latarnya. Jika dihubungkan dengan unsur naratif, penggambaran ini bisa memunculkan perasaan tertentu kepada penonton. Entah itu kepedihan, kegembiraan, kesedihan, nelangsa, rindu, dan sebagainya. Dalam film “Dilan 1991” teknik ini digunakan dengan tepat untuk menggambarkan keterpurukan Milea yang tanpa Dilan di sisinya. Establishing shot yang menggambarkan Milea dan jalanan menuju sekolah yang sepi mengundang rasa agar penonton berempati kepada Milea.

Untuk bagian editing, sama dengan film pertama, kita akan disuguhkan pemotongan gambar yang baik lewat teknik “Crosscutting”. Teknik ini adalah serangkaian shots yang memperlihatkan dua aksi peristiwa pada lokasi yang berbeda namun ruang waktunya sama. Untuk itu, adegan akan dijahit secara bergantian. Crosscutting lazim digunakan untuk adegan yang berlangsung secara simultan, dan secara efektif mampu memberikan informasi cerita dari tempat berbeda secara efisien.

Untuk film romansa, Crosscutting dapat membantu dalam penggambaran info cerita, khusus “Dilan” juga bisa memunculkan efek nostalgia ketika zaman teleponan dengan pacar masih harus menggunakan telepon rumah dan telepon umum. FYI, teknik ini sudah digunakan pada era 1910-an oleh sineas D.W. Griffith. Oh, satu lagi. Teknik cutting sangat ampuh di salah satu sequence-nya. Keintiman yang meledak akibat suasana canggung antara Dilan dan Milea tiba-tiba dialihkan secara spontan. Diiringi oleh pergerakan kamera dan suara naratornya, membuat momen manis ini mengundang reaksi dari para penonton yang jadi gregetan. Once again, in a good way.

Masih dihiasi oleh dialog-dialog cheesy yang bisa bikin cewek-cewek kembang kempis, “Dilan 1991” memberikan apa yang kita inginkan, yaitu konflik yang semakin berisiko. Semakin naik. Film ini tidak hanya soal cemburu buta, namun juga lebih bermain dengan rasa prihatin yang semakin lama semakin membesar. Meski kurang sreg dengan kata-kata “dipecat dari sekolah”, tapi itu adalah perbedaan yang sama.

Keputusan untuk lebih fokus kepada Milea bikin film lebih emosional dibanding intense. Rintangan-rintangan di samping konflik utama juga tidak ada yang berkesan. Jangan beranjak lebih dulu karena ada satu credit scene yang menarik. Di sini sangat jelas terlihat kamera sudah berpindah ke karakter Dilan. Apa yang bisa diharapkan dari sana? Well, selain aspek penceritaan yang nanti akan berbeda, dari akting Iqbaal terbesit sedikit character development yang menjanjikan.

So, kamu jangan ketinggalan menonton Dilan 1991 ini. Film ini sudah bisa kamu temui di semua jaringan bioskop di Indonesia.

 

Director: Fajar Bustomi, Pidi Baiq

Starring: Vanesha Prescilla, Iqbaal Ramadhan, Happy Salma, Farhan, Jevin Julian, Maudy Koesnaedi, Ence Bagus, Ira Wibowo, Bucek Depp, Zara JKT48, Brandon Salim, Andovi Da Lopez

Score: 7.5/10

Tags: Andovi Da LopezBrandon SalimBucek DeppDilan 1990Dilan 1991Ence BagusFajar BustomiFarhanHappy SalmaIqbaal RamadhanIra WibowoJevin JulianMaudy KoesnaediPidi BaiqPopularVanesha PrescillaZara JKT48
Juventus Wisnu

Juventus Wisnu

“Don't ask yourself what the world needs, ask yourself what makes you come alive. And then go and do that. Because what the world needs is people who have come alive.”

Related Posts

Mumun 2022

Kembali Dibintangi Mandra, Intip Poster Film ‘Mumun’

June 25, 2022
Ngeri-Ngeri Sedap

Tembus 2 Juta Penonton, ‘Ngeri-Ngeri Sedap’ Terus Tuai Pujian

June 23, 2022
my sassy girl

Review Film: ‘My Sassy Girl’

my sassy girl cover

Sinopsis ‘My Sassy Girl’, Kala Kesalahpahaman Berujung pada Cinta

June 17, 2022

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse Banner Cineverse Banner Cineverse Banner
ADVERTISEMENT

Cineverse

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 - 2022 Cineverse - All Right Reserved

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In