“The men who did it are out there. I’m going to hunt them down, one by one.” – Paul Kersey
Film yang digarap menarik ini sepertinya sudah terbaca ketika nama Eli Roth tampil disini sebagai sutradara. Betapa tidak, Eli Roth banyak terinspirasi oleh film-film Jepang dari Takashi Miike yang gemar sekali membuat film berdarah-darah seperti Audition (1999), Ichi The Killer (2001) ataupun film Suicide Club dari Sion Sono yang lagi-lagi menampilkan darah layaknya menumpahkan cat pada sebuah kanvas kosong. Tampilan seperti itulah yang ingin ia rasakan ketika menggarap film Death Wish ini.
Death Wish (1974) ini sendiri sebenarnya termasuk film legendaris dari novel karya Brian Garfield dari judul yang sama. Charles Bronson memainkan karakter Paul Kersey sampai dibuat sekuel yang kelimanya berakhir ditahun 1994. Walaupun pernah muncul beberapa film yang identik seperti Death Sentence (2007) dan The Brave One (2007), namun film orisinalnya tetap menjadi yang terbaik.
Paul Kersey merupakan dokter bedah di Chicago mempunyai keluarga yang hidup bahagia dengan istrinya, Lucy Kersey (Elizabeth Shue) dan anak perempuannya, Jordan Kersey (Camilla Morrone). Bersama sang adik, Frank Kersey (Vincent D’Onofrio) yang hidup terpisah, mereka hidup mencerminkan keluarga yang hidup tanpa beban.
Sampai suatu ketika, rumah sang dokter dirampok saat sang istri dan anaknya saja yang ada disitu. Sang dokter yang sedang bekerja di rumah sakit, tiba-tiba kalap mendapati sang istri telah meninggal dan sang anak luka parah.
Marah oleh keadaan yang tak menentu, ditambah lagi polisi tak dapat membantu untuk memecahkan kasus tersebut, mulailah Paul berinisiatif menjadi algojo dalam memerangi penjahat yang membunuh istrinya.
Tentu saja tak mudah, terlebih untuk dirinya yang awam dalam memegang senjata api. Tapi dapatkah Paul membalaskan dendam kepada si pembunuh istrinya? Apakah malah dirinya yang malah akan menjadi korban dalam pertarungan nanti? Semua itu bisa Chillers liat dalam film ini.
Remake garapan Eli Roth (Hostel Part 1 & 2) dengan naskah yang dibuat oleh Joe Carnahan (The A-Team, Smokin Aces) ini menjanjikan. Walaupun kali ini Eli Roth tak menyutradarai genre horror seperti yang biasa ia lakukan, namun ciri khasnya tetap saja muncul. Adegan kekerasan yang spontan, cenderung brutal dan berdarah-darah, membuat film ini tidak ditujukan bagi orang yang bernyali rendah atau gampang takut.
Malah ciri khas ini yang membuat sang sineas semakin dikenal karena kespesifikannya itu. Walaupun tidak semua film gore seperti ini bagus (bahkan Miike saja pernah membuat film yang jelek), film ini layak diapresiasi sebagai salah satu remake yang berhasil dilakukan. Dengan pendekatan modern dan kekinian, kita diajak masuk ke dunia masa kini yang penuh dengan celotehan diudara. Radio tampaknya menjadi sarana dari Eli untuk mengejawantahkan kultur budaya Amerika yang cenderung menyinggung rasisme hitam diatas putih atau sebaliknya.
Cerita yang sederhana dan mudah diikuti alurnya ini bahkan sangat menghibur. Bahkan film remake pun tak melulu harus sama persis dengan film aslinya. Namun bagaimana sang sutradara mengemas suatu cerita yang sudah ada menjadi suatu kemasan yang menarik untuk dilihat. Bahkan ketika film itu harus menjual adegan berdarah-darah sekalipun.
Bruce Willis pun tampil menawan disini, walaupun kadang gesture ‘Die Hard’ yang sudah melekat erat pada dirinya selama ini sempat terlihat dibeberapa scene. Walaupun karakternya tidak sekeras Charles Bronson, perubahan attitude dari dokter menjadi seorang pembunuh dilakoninya dengan baik walaupun tidak signifikan. Yang sangat disayangkan mungkin karakter Frank Kersey yang sebetulnya sangat tidak perlu. Dan di film aslinya pun karakter ini tidak ada.
Dan bagi Chillers yang menyukai film action, film ini mungkin bisa dijadikan pilihan tepat untuk kamu tonton. Dengan rating R yang dimilikinya, film ini memang sangat mengumbar kekerasan dan berdarah-darah. Cukup siapkan mental beberapa saat dan tonton film berdurasi 117 menit yang menarik ini.