“You know what we’re good at? Giving up on people. Pointing the finger at them. To forgive doesn’t mean to forget. “Forgive” means “love”. To love someone despite their guilt. No matter what the guilt is.” – Daniel.
Film ini bisa dibilang adalah film yang paling ditunggu-tunggu dari gelaran Europe on Screen 2020 online edition. Mostly alasannya karena “Corpus Christi” adalah nominee untuk kategori “Best International Feature Film” Oscars 2020.
Nauval Yazid, Festival Co-Director Europe on Screen juga mengatakan bahwa film ini adalah salah satu yang terkuat dari Polandia dalam beberapa tahun terakhir. Ceritanya pun unik, yaitu mengenai seorang pemuda kriminil bernama Daniel yang berpura-pura menjadi pendeta. Ia nekat mangkir dari tugasnya di sawmill untuk mengabdi di gereja sebuah desa terpencil.
Gosok-gosok berhadiah, Daniel ternyata malah dipercaya sebagai pendeta, bahkan hingga memimpin misa. Lebih jauh, Daniel juga mengetahui lebih dalam soal tragedi kelam yang menimpa desa tersebut.
Film awalnya berlatarkan penjara dengan palet warna yang dibikin lebih abu-abu. Selain itu, di sana kita juga sudah dikasih lihat Daniel yang sudah dipercaya untuk membantu doa. Beranjak ke desa, terlihat sebuah penggambaran sinematik yang tidak hanya cantik namun juga berubah.
Di sini warnanya jadi lebih kehijauan dengan kesan dingin yang tetap berasa. Desa yang menjadi latar tempat di film ini diperlihatkan dengan cukup. Mulai dari establishing shot yang memperlihatkan lingkungan desa yang hijau, kemudian jalanan desa, hingga ke tempat yang memajang foto para korban tragedi kelam.
Tempat ini akan menjadi sesuatu yang penting dan konflik mengenai tragedi kelam tersebut lambat laun akan menjadi sentral dari film. Sedikit info, konflik yang berupa tragedi di dalam film terinspirasi dari kejadian nyata.
Untuk bisa membuat audiens tertarik sama filmnya, “Corpus Christi” memanfaatkan unsur naratif yang nyeleneh, walau tanpa tambahan musik. Akting dari para aktor membawa kelucuan mulai dari saat Daniel mendapatkan role yang, istilah kata naik level, kemudian soal metode. Ini kocak abis sih.
Dari eksposisi udah jelas kalau Daniel ini gak ada background apapun soal clergy, jadi boro-boro dia punya akreditasi yang dibutuhkan. Cuman, ya dia tetep lanjut karena udah kecemplung. Jadi lucu ngeliatnya karena ada kelakuan Daniel yang menunjukkan flaws nya. Lagipula, siapa lagi coba orang yang pas buat ngomongin sesuatu yang berat seperti dosa dan segala macamnya, daripada seorang kriminil seperti Daniel?
Anyway, metode lainnya di sini yang ngena adalah bagaimana si pendeta jadi-jadian ini meng-encourage perasaan kita terhadap sesuatu daripada menekannya. Hal ini lalu dimanfaatkan sebagai kunci untuk masuk ke tahap berikutnya.
Nah di tahap berikutnya ini, Daniel mulai menggali lebih dalam soal tragedi yang ada di desa itu. Bisa dibilang film menerapkan konsep penyelamat yang sangat tidak ideal, yang mana hal ini sebetulnya sudah di-tease secara cukup powerful lewat quote dari pendetanya Daniel di penjara. Kurang lebih quote itu juga lah yang membuat Daniel jadi semangat menjadi apa yang ia inginkan dan yakini, terlepas dari statusnya dan masa lalunya yang kelam.
Perlu diperhatikan karena nuansa film juga mulai berubah dari yang awalnya ringan dan menyenangkan jadi semakin lama semakin serius. Apa sebenarnya misteri yang masih tersimpan sehingga orang-orang nampak sulit untuk merelakannya coba dikulik. Setelah Daniel tahu, kita bisa merasakan apa yang mungkin dipikirkan Daniel. Para korban notabene sebaya dengannya.
Yang menjadi tantangan di sini adalah bagaimana film mengajak penontonnya untuk tetap ikut sama kisah mengenai tragedi kelam itu. Soalnya selain tone-nya sudah berubah jadi lebih berbeda, poin ini juga krusial dalam pengembangan kisah dari perspektif Daniel itu sendiri. Karakter ini sebetulnya gak memiliki fondasi yang kuat. Kita tahu apa yang ia inginkan tapi gak tahu mengapanya.
Nah ketika Daniel sudah berada di kondisi penelusuran ini kita bisa melihat karakter dia yang tidak hanya masuk pada konfkik tersebut namun juga seharusnya berkembang lebih jauh. Film akan berbicara tentang bagaimana kita memaafkan. Kemudian Daniel akan menjadi orang yang mencoba untuk merealisasikan itu, karena secara jumlah, orang yang mesti ditenangkan soal ini tuh banyak.
Pembawaan yang langsung cenderung lambat menjadi isu untuk film ini. Kita bisa jadi ngantuk karena film menginvestigasi satu demi satu, di mana arc dari Daniel sebagai seorang pelarian semakin menurun. Sebagai siasat, “Corpus Christi” memasukkan karakter-karakter baru, seorang widow dan seorang pejabat lokal.
Tensinya datar-datar saja, lebih ke arah bagaimana film bergulir untuk membuat film semakin menarik. Sebagai film yang beralur linier dan point of view nya juga diambil hanya dari sudut pandang tertentu, maka kesabaran akan duji dari semakin bergulirnya film tadi.
Hasilnya? Cukup worth it. Setidaknya ada dua poin yang penting di masa-masa ini. Poin pertama akam membuat kita lebih memahami konteksnya. Poin yang kedua menjadi titik balik dari konflik itu, sebelum masuk ke turning point kedua yang akan dikembalikan pada cerita Daniel. Meski begitu poin kedua ini juga memang memiliki bumbu yang wow juga.
Seperti yang sudah disinggung di awal, turning point kedua patutlah kembali pada Daniel. Di sini dua garis akan bertemu, di mana porsi yang tadinya semakin menurun, coba dinaikkan lagi. Cukup tertatih-tatih dalam menggabungkannya, namun ada satu poin yang kita dapat. Film ini tidak terlena dalam bubble-nya sendiri. Film tetap berada pada kondisi awal, terlepas dari bagaimana respon penonton terhadapnya.
Kembali ke eskposisi, sebaik apapun sesorang, kalau dia sudah dicap negatif, apalagi jika dilihat dari karakter Daniel, maka tidak ada yang bisa melawan. We need to fight with our self, gak bisa seratus persen memikirkan bagaimana orang lain akan melihat kita.
Di sini akting Bartosz Bielenia tampil mantap sebagai karakter utama. Dengan kesannya yang grounded, Bartosz bisa menampilkan karakter yang menarik karena Ia tahu kalau dia berbohong, namun situasi yang semakin Ia hadapi sebagai pendeta juga tidak biasa. Perkembangannya terasa lebih believable.
Sementara itu Eliza Rycembel bagus sebagai pemeran pendukung yang mengimbangi Bartosz dan Lukasz Simlat meski screen time nya sedikit namun sukses menampilkan sosok pendeta yang dingin.
Sebuah kisah yang pastinya thought provoking. Mau itu dari arc-nya karakter utama maupun konflik yang terdapat di desanya. Selain itu,”Corpus Christi” juga berbicara mengenai bagaimana kita menerima duka, dengan masukan kesalahpahaman yang ada di dalamnya. Hal itu coba dikuak dengan akhir yang bisa dikatakan fifty-fifty.
Director: Jan Komasa
Cast: Bartosz Bielenia, Eliza Rycembel, Aleksandra Konieczna, Tomasz Zietek, Leszek Lichota, Lukasz Simlat
Duration: 115 Minutes
Score: 7.6/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Corpus Christi
'Corpus Christi' menceritakan seorang pemuda kriminil yang berani memalsukan dirinya menjadi seorang pastor di sebuah gereja Katolik. Bagaimana respon masyarakat disitu dalam menanggapi kebohongan tersebut?