“The only thing that really matters is how a man treats his family.” – Johnny (Capone).
Lama tak melihat karakter Al Capone di layar lebar, kini gangster legendaris Amerika ini diangkat lagi ke layar lebar lewat sebuah biopik. Bukan remake dari film-film sebelumnya, namun mengangkat saat-saat terakhir dari gangster terkenal sepanjang masa ini menghabiskan hidupnya dalam pengasingan.
Sejumlah film biopik sebelumnya telah mengangkat Al Capone dalam berbagai versi, termasuk yang terkenal seperti; Paul Muni (Scarface: The Shame of a Nation – 1932), Rod Steiger (Al Capone – 1959), Neville Brand (The Scarface Mob – 1959), Jason Robards (The St. Valentine’s Day Massacre – 1967), Ben Gazzara (Capone – 1975), Stephen Graham (Boardwalk Empire 2010-2014), Anthony LaPaglia (Road to Perdition – 2002), dan satu yang paling banyak diingat orang adalah, Robert DeNiro di “The Untouchables” (1987).
Sejak pertama kali diumumkan akan diangkat ke layar lebar di tahun 2016, kini film ini sudah bisa kita saksikan lewat layanan VOD. Memang dilihat dari sutradaranya, sebetulnya agak skeptis juga, mengingat Josh Trank sempat gagal total me-reboot film superhero terkenal, “Fantastic Four” (2015).
Film yang sekarang dibintangi Tom Hardy sebagai Al Capone, menceritakan saat Capone dibebaskan bersyarat dan tak lagi dianggap sebagai ancaman serius setelah satu dekade ditahan di penjara Alcatraz yang terkenal itu. Selama ditahan, kesehatan fisik dan mentalnya menurun drastis, yang membuatnya mendapatkan keringanan hukuman.
Setelah bebas, ia tinggal di rumahnya yang mewah di Florida, dengan pengawasan ketat FBI. Istri Al Capone, Mae (Linda Cardellini), anaknya, Junior (Noel Fisher) dan saudara-saudara lainnya merawatnya karena kondisinya kian hari makin memburuk. Capone yang baru berusia 47 tahun, memang sudah terlihat tua seperti orang berusia 60 tahunan, akibat dari demensia (penurunan daya ingat dan daya fikir) dan neurosifilis yang dideritanya sejak muda.
Karena hal itu pula, pikirannya menjadi tak jernih dan visi liarnya membawa Capone kembali ke masa lalunya yang sadis dan kejam atau lewat imaji foto-foto masa mudanya (dengan balon emas yang selalu ia ikuti).
Namun plot utama itu tak sekedar mengikuti rasa sakit yang Capone derita, namun juga misteri hilangnya uang yang ia miliki sebesar US$ 10 juta, yang sampai saat itu belum juga ditemukan pemerintah.
Dari awal film ini dimulai, terlihat Capone digarap seperti sebuah film eksperimental ke arah genre lainnya, ketimbang aslinya yang lebih cocok masuk ke genre drama.
Trank tampaknya ‘bernyali besar’ memilih jalur artistik pada subyek yang sulit dinikmati kebanyakan orang. Terlebih buat kita yang penasaran seperti apa Capone di saat-saat terakhirnya.
Pendekatan seperti ini sepertinya memang menarik, eksekusinya banyak memasukkan gambaran, metafora dan emosi dalam wujud mimpi Capone, dari apa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Namun sosok Capone yang digambarkan mengalami kesulitan berbicara, sepertinya tak cukup dalam untuk menggali Capone yang secara naratif tak mampu lagi melakukan apa-apa.
Terlebih lagi, ia hanya suka mendengarkan radio dan tak terlalu suka menonton televisi. Indra pendengarannya malah menjadi senjata yang mematikan bagi dirinya sendiri, kalau ia mendengar sesuatu yang tak ia sukai, hal itu akan membuatnya tergganggu setiap saat.
Contohnya, saat ia mendengar lewat radio, pembantaian Hari Valentine yang sangat terkenal dan waktu itu diinisiasi dirinya, tiba-tiba pembantaian itu didramatisasi lewat mimpi. Hal itu membuat kemudian membuatnya berteriak ketakutan setelah ada sesuatu yang menurut penglihatannya sangat menjijikkan.
Gambaran-gambaran metafora inilah yang banyak ditonjolkan oleh Trank dalam Capone. Wajar saja, kalau halusinasi itu ditampilkan dengan sangat baik dengan hadirnya sinematografer kawakan, Peter Deming (Mulholland Drive) yang banyak terinfluens oleh sutradara ternama David Lynch.
Namun untuk ceritanya sendiri (yang dibuat juga oleh Trank), agak bertolak belakang dengan visual yang dihasilkannya. Kita seperti melihat Capone versi black comedy, yang berturut-turut akan muncul pertanyaan yang belum tentu bisa dijawab sang filmmaker itu sendiri.
Apa benar realitanya seperti itu? Kita seperti iba sendiri seperti melihat Capone yang jatuh pun tak mampu berdiri sendiri, harus memakai jubah mandi kemana-mana, matanya selalu merah dan mukanya bak zombie, dengan omongan yang selalu menggumam, terlebih saat ia diharuskan berhenti merokok cerutu yang digantikan wortel oleh dokter pribadinya.
Yang ada kita malah kasihan sendiri melihat sosok yang dulu sangat ditakuti, dan sekarang tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Hilang sudah sosok gangster mematikan yang pernah menguasai Chicago di era 20-an hingga satu dasawarsa ke depannya itu.
Realita seperti itu akan muncul, dan rasanya Trank layak mendapat pujian karena keberaniannya menggabungkan genre kejahatan dengan horor psikologis. Namun disayangkan ceritanya malah tak terarah dan lagi-lagi hanya menjual sederet mimpi liar yang agak menyimpang dari aslinya yang seharusnya bisa menjadi presentasi biopik terbaik dari gangster legendaris ini saat akhir hayatnya yang jarang diungkap ke publik.
Akting Tom Hardy memang sangat bagus, namun minimnya dialog membuatnya malah tersandera oleh naskah yang sebetulnya tak layak dijadikan sebuah biopik.
Buat kita yang penasaran seperti apa visualisasi filmnya, Capone sudah bisa kita saksikan lewat layanan streaming.
Director: Josh Trank
Casts: Tom Hardy, Linda Cardellini, Matt Dillon, Al Sapienza, Kathrine Narducci, Noel Fisher, Kyle Maclachlan, Manny Fajardo, Mason Guccione
Duration: 103 Minutes
Score: 6.2/10
WHERE TO WATCH
TBA
The Review
Capone
Setelah dipenjara satu dekade, Al Capone bebas bersyarat di rumahnya di Florida. Film ini menceritakan momen-momen terakhirnya yang penuh rasa sakit yang ia derita selama ia dipenjara. Demensia dan neurosifilis yang menyebabkan dirinya tak bisa berkomunikasi dengan lancar, sering mengalami mimpi buruk dan halusinasi. Gimana selanjutnya nasib Al Capone? Saksikan di film yang sudah bisa kita saksikan di layanan streaming.