“Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya.” – Jean Marais.
Sebuah kejutan belum lama ini muncul di ranah layar lebar Indonesia. Kejutan yang sebenarnya sudah biasa dilakukan di jagat perfilman Hollywood atau Eropa sejak lama, yaitu mengadaptasi sebuah karya besar penulis ternama ke dalam sebuah film. Kali ini tidak tanggung-tanggung, novel terkenal karya sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yakni Bumi Manusia, bisa diadaptasikan ke layar lebar.
Novel yang sejatinya merupakan tetralogi Buru, yang terdiri dari empat serial novel semi fiksi yang disusunnya ketika masih ditahan di Pulau Buru selama satu dekade lebih. Bumi Manusia sendiri merupakan novel bagian pertama dari seri tersebut dan film bagian pertama ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo (Kartini, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta).
Menit pertama, kamera langsung tertuju pada sosok Minke, yang sekolah di HBS (Hogere Burgerschool) di kota Surabaya. HBS sendiri sebenarnya merupakan sekolah menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Minke yang mempunyai nama asli Raden Mas Tirto Adhi Soeryo memang bukan orang Eropa ataupun Indo atau blasteran, namun merupakan anak seorang bangsawan Jawa, tepatnya Bupati Blora.
Sebagai seorang priyayi, dirinya bisa mengikuti sekolah tersebut karena status sosial yang dimiliki ayahnya, disamping kepintaran dan kecerdasannya yang diatas rata-rata. Minke kemudian dipanggil teman sekolahnya, Suurhoof (Jerome Kurnia) seorang Indo yang kemudian mengajaknya pergi ke rumah temannya di Wonokromo, Robert (Giorgino Abraham), yang ternyata merupakan sebuah keluarga kaya raya di Boerderij Buitenzorg, sebuah perusahaan Belanda yang dikelola oleh Nyai Ontosoroh yang bersuamikan Herman Mellema (Peter Sterk). Pasangan ini dikaruniai dua anak, Robert dan Annelies (Mawar de Jongh).
Minke yang merupakan pribumi tak serta merta disambut oleh Robert yang langsung mengacuhkannya. Namun sang adik, Annelies mendadak keluar dan menyambut Minke sebagai temannya yang baru dan keduanya langsung akrab seketika itu juga. Semenjak kunjungannya tersebut, pada akhirnya Minke pun terlibat dengan berbagai kisah yang tak terduga, mulai dari tinggal di Buitenzorg, hingga pada akhirnya menikah dengan Annelies.
Novel Bumi Manusia sendiri mengambil latar belakang dan cikal bakal bangsa Indonesia di awal abad ke-20. Era dimana mulai munculnya bibit pergolakan dari segelintir individu dan rasa senasib sepenanggungan yang dialami banyak orang yang tidak sederajat dengan mereka. Terlebih tindakan semena-mena yang dilakukan kaum penjajah membangkitkan sentimen tinggi terhadap kaum marjinal yang terpinggirkan dan pergolakan batin ini dirasakan juga oleh sekelompok pemuda pribumi yang mengenyam pendidikan Eropa di sejumlah sekolah yang dimiliki Belanda.
Kegamangan ini juga merasuki Minke yang tadinya berangan-angan seperti halnya teman-teman Indo-nya yang lebih berorientasi ke tanah Eropa dan lebih bangga menjadi menjadi seorang Belanda ketimbang negaranya sendiri. Perjuangan Minke tak hanya soal keberpihakannya terhadap tanah airnya, namun tindakan sewenang-wenang pengadilan kolonial yang memisahkan dirinya dan Annelies.
Pemberontakannya kepada kaum Eropa ia tuliskan lewat koran lokal dengan nama samaran Max Tollenaar. Tak ada gunanya ilmu pengetahuan Eropa yang ia pelajari, tetap saja ia dianggap seorang pribumi yang tak mempunyai hak layaknya orang Eropa. Begitu pula ketika semua hal itu berlanjut hingga mengakibatkan harta benda Nyai Ontosoroh disita pengadilan hanya karena dirinya merupakan gundik yang bukan merupakan istri yang sah dari Herman Mellema.
Dalam film berdurasi sangat panjang untuk ukuran film layar lebar, hingga mencapai tiga jam, Hanung berusaha menafsirkan apa yang dituliskan Pram hingga bisa dicerna oleh audiens. Tak semua mampu membaca novel karya pujangga sastra masa lalu, terlebih mencerna apa yang dikandung di dalamnya.
Menarik melihat kemampuan akting dari Iqbaal Ramadhan yang berperan sebagai Minke dan Sha Ine Febriyanti yang menjadi Nyai Ontosoroh. Keduanya mampu menampilkan yang terbaik di film ini, terutama untuk Iqbaal yang selama ini sempat diragukan aktingnya dalam bermain di film sebesar ini. Terlebih karakter Dilan masih melekat jelas sampai saat ini. Penggunaan bahasa Melayu, Belanda dan Jawa yang dominan saat itu memang seharusnya dipakai, dan tidak malah menggunakan bahasa Inggris yang memang bukan bahasa sehari-hari di Hindia Belanda. Hal itu membuatnya sangat menarik dan tak mudah memang membuat film dengan dominasi ketiga bahasa itu, terlebih dengan durasi panjang seperti ini.
Dua permasalahan besar akan mewarnai film ini selepas paruh pertama film. Alur yang cukup lambat akan menuntun kita mengenali karakter yang ada di sekeliling Minke dan keluarga Mellema, memang melelalhkan dengan durasi seperti ini.
Lebih menarik lagi melihat para cast yang ada di sekeliling keluarga Mellema dan Minke. 60 persen dari cast diisi orang Belanda yang di-cast langsung dari negeri Kincir Angin tersebut. Selebihnya, cast menarik hadir dari Maiko (Kelly Tandiono) yang merupakan pelacur dari rumah Babah Ah Tjong (Kin Wah Chew); Darsam, seorang sais dan pengawal keluarga Mellema; dan Jean Marais (Hans de Kraker), teman Minke yang merupakan serorang pelukis dari Perancis.
Desain produksi film ini memang terlihat mengagumkan. Efek CG yang digunakan terlihat halus dan bisa menampilkan wujud kota Surabaya awal abad ke-20 dengan sangat jelas, walau hanya sekilas. Begitu juga dengan set bangunan, view-nya yang dinamis, membuat lansekap yang ditonjolkan dari masing-masing set mudah dibayangkan. Memang ada sedikit keanehan dengan warna eksterior rumah keluarga Mellema yang didominasi warna warni cerah seperti salem dan kuning muda, bukannya putih sebagaimana karakter arsitektur Indies awal abad ke-20.
Begitu pula saat Suurhoof mengajak Minke masuk ke sebuah klub yang khusus untuk orang Eropa, namun langsung ditolak masuk, karena Indo masih dianggap sebagai kaum bumiputera. Mengingat elit pribumi yang mengenakan pakaian ala elit Eropa tak semestinya ditolak masuk restoran yang khusus ditujukan untuk kaum Eropa, karena penampilan justru akan memudahkan mereka.
Namun hal minor tersebut tak membuat film ini kehilangan kualitasnya dan harap perhatikan rating R yang ada di film ini dan ditujukan untuk usia 17 tahun ke atas, karena ada beberapa adegan yang sedikit vulgar, walaupun hanya terlihat samar saja. Tonton segera film ini dan mudah-mudahan kedepannya sekuel film ini bisa dibuat hingga selesai.
Chillers sekarang bisa menonton “Bumi Manusia” melalui aplikasi dan website Klik Film. Hanya dengan Rp 7 ribu, penggemar film Indonesia dapat menyaksikan film yang meraih 12 nominasi Piala Citra 2019.
Mawar De Jongh, yang memerankan tokoh Anelis mengaku senang film garapan Hanung Bramantyo tersebut bisa kembali disaksikan.”Aku senang dan gembira, akhirnya film Bumi Manusia bisa disaksikan kembali oleh banyak orang di platform KlikFilm. Dan film ini bisa disaksikan tanpa harus keluar rumah,” ungkapnya.
Mawar berharap, dengan hadirnya kembali film Bumi Manusia, bisa menghibur lebih banyak orang.” Harapan aku, semoga film ini bisa menghibur banyak orang ya di rumah, dan pas rasanya mengingat situasi saat ini dimana banyak orang berkerja di rumah karena Covid/WFH. Semoga situasi ini bisa kembali segera normal ya, selamat menyaksikan,” tutupnya
Director: Hanung Bramantyo
Starring: Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Giorgino Abraham, Jerome Kurnia, Donny Damara, Ayu Laksmi, Dewi Irawan, Kelly Tandiono, Kin Wah Chew, Christian Sugiono, Hans de Kraker
Duration: 181 Minutes
Score: 8.5/10
The Review
Novel Bumi Manusia merupakan bagian dari tetralogi Buru, yang disusunnya ketika ditahan di Pulau Buru. Novel terkenal karya sastrawan terkemuka Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) ini kini bisa diadaptasikan ke layar lebar. Film ini kini disutradarai oleh Hanung Bramantyo
Review Breakdown
- 8.5