Review Birds of Prey (2020)

Birds of Prey menceritakan tentang Harley Quinn dan teman-temannya untuk membantu seorang gadis muda yang terkena serangan.

birds of prey

© Warner Bros Pictures

“I was back on my feet, ready to embrace the fierce goddess within.” – Harley Quinn (Birds of Prey).

Skeptis. Ya, itulah satu kata yang mewakili perasaan kami ketika pertama kali melihat bocoran judul film terpanjang di DCEU ini beberapa tahun lalu. Dan tak mengherankan apabila kami merasa demikian.

Dengan ditampilkannya kembali si (mantan) kekasih Joker (Jared Leto), Harley Quinn (Margot Robbie) yang seperti kita ketahui, merupakan karakter terpopuler dan terfavorit di DCEU, jujur saja kami merasa was-was kalau nantinya, Quinn akan terlalu dominan di film arahan Cathy Yan (Dead Pigs) ini.

Yang mana alhasil, akan membuat plot pembentukan kelompok pahlawan wanita DC ini (well beberapa villainese Gotham termasuk Quinn sendiri, juga pernah bergabung) menjadi fokus sekunder.

© Warner Bros Pictures

Perasaan skeptis ini kian menjadi ketika menyaksikan kedua cuplikan trailer-nya. Spesifiknya, hampir di seluruh rilisan teaser dan trailer-nya, Quinn selalu menjadi fokus utamanya.

Walau memang, ketiga jagoan wanita lainnya: Huntress (Mary Elizabeth Wisntead), Black Canary (Jurnee Smollet-Bell), dan Renee Montoya (Rosie Perez), dan si villain utamanya, si mafia Gotham kelas atas, Roman Sionis aka Black Mask (Ewan McGregor), juga diperlihatkan cukup banyak di dalamnya.

Dan setelah menyaksikan filmnya, benar saja Cilers. Birds of Prey di atas kertas memang terlihat sebagai film yang mengisahkan pembentukan trio wanita badass Gotham tersebut.

Bahkan lebih jauhnya, kisah asal-usul atau pembentukannya memang diceritakan dengan cukup baik. Tapi sayangnya, plot emansipasi sekaligus independensi Ms. Quinn untuk kini beraksi tanpa adanya bayang-bayang Mr. J, masih jauh lebih dominan.

© Warner Bros Pictures

Sebenarnya Yan sudah terlihat berusaha semaksimal mungkin untuk menyeimbangkan kedua plot-nya. Tapi tetap saja plot yang melibatkan si villain wanita yang sesungguhnya diciptakan spesial untuk Batman: The Animated Series (1992) tersebut, masih jauh lebih menyeringai.

Memang, Yan sudah berusaha juga agar bisa mengintegrasikan plot Harley dan plot pembentukan BOP-nya dengan se-logis mungkin. Namun tetap saja beberapa dari proses peng-integrasian nya tersebut, malah terlihat memaksakan dan berantakan.

Alhasil pada akhirnya, kami seperti menyaksikan 2-3 plot cerita berbeda dalam satu film. Untungnya, Yan dan DC sukses menjangkari 2-3 plot berantakan tersebut melalui otak dan mata Harley.

Dan seperti kita ketahui, mata dan otak Harley pada dasarnya sudah “korslet”, sehingga ketika menyaksikan alur non-linear yang diperlihatkan, kami pun memahami keberantakan dan kegilaan yang terjadi.

© Warner Bros Pictures

Bahkan, kami juga tidak peduli sama sekali apakah seluruh plot yang ditampilkan memang benar-benar terjadi, atau memang hanya berasal dari kumpulan “korsleting” otak Quinn saja.

Mengapa kami katakan demikian? Well, semuanya tentu juga dikarenakan performa Robbie sebagai Quinn yang lag-lagi sukses membuat kita terpukau habis-habisan.

Apabila di Suicide Squad (2016), Robbie sukses mencuri perhatian dengan kegilaannya yang masih “normal”, maka di Birds of Prey, tingkat kegilaan yang dimilikinya ia naikkan lagi volume-nya hingga benar-benar se-korslet seperti listrik yang super overload.

Namun di kala kami sudah memaklumi keberantakan yang ada, kemakluman tersebut kemudian dikacaukan habis-habisan oleh penampilan Ella Jay Basco (Veep) sebagai si calon Batgirl dan Black Bat masa depan, Cassandra Cain.

© Warner Bros Pictures

Di BOP, Cain masih menjadi sosok gadis tembem yang “rajin” mencopet demi bisa bertahan hidup. Oke memang latar karakternya memang bagus dan membuat kita peduli. Bahkan, ia juga menjadi karakter vital setelah mencuri berlian penting yang diinginakn oleh Sionis.

Walau demikian, entah mengapa, Basco terlihat tidak pas saja dalam memerankannya. Memang bukan berarti penampilannya buruk banget. Dan kami juga sudah memaklumi kalau kisah latarnya dibuat berbeda 180 derajat dari yang ada di komiknya (di komik, ia adalah anak assassin, Lady Shiva).

Tapi Cilers pasti pernah bukan ketika melihat seseorang, langsung merasa tidak enak atau klik? Nah itulah yang kami rasakan ketika melihat penampilan aktris berusia 13 tahun ini sebagai Cain. Salah casting? Mungkin juga.

Bukannya membaik, mood makin drop saja ketika melihat penampilan McGregor sebagai Black Mask dan asistennya, si psikopat Gotham, Victor Zsasz (Chris Messina). Ketika melihatnya, jujur kami benar-benar menganga terpukau saja.

Bukan, bukan terpukau senang. Melainkan terpukau dengan betapa berlebihan dan salahnya interpretasi Sionis di filmnya. Jangan salah sangka Cilers. Bukan salah McGregor disini. Si Obi-Wan Kenobi, sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik.

© Warner Bros Pictures

Yang kacau disini adalah naskah pengadaptasiannya. Kami bingung apakah si penulis naskah Christina Hodson (Bumblebee, Unforgettable) ketika menuliskan treatment untuk Sionis, ia telah benar-benar membaca komiknya terlebih dahulu?

Dan yang kami lebih bingung lagi? Kok malah disetujui sih oleh pihak DC? Sionis pada dasarnya sosok yang sangat mengerikan bukan campy over the top layaknya seperti Two-Face nya Tommy Lee Jones di Batman Forever (1995).

Sionis seingat kami, juga tidak melepas kulit wajah korbannya. Yang memiliki “metode kerja” tersebut, justru adalah rekan villain-nya Professor Pyg. Tapi ya sudahlah. Toh McGregor tampilnya sudah sesuai banget seperti skrip yang diberikan kepadanya bukan?

Sedangkan untuk Messina sebagai Zsasz, hampir serupa masalahnya seperti yang dialami McGregor. Kami bingung saja. Zsasz sudah tiga kali. 3 KALI! Diadaptasikan ke live-action.

Tapi tetap saja ketiga-tiganya, tidak ada yang benar. Mungkin sejauh ini, hanya Zsasz versi Anthony Carrigan di seri Gotham saja yang lebih “mendingan”. Kamipun juga bingung. Apakah memang sesulit itu untuk memerankan Zsasz? Entahlah.

Namun seperti dikatakan sebelumnya, kekurangan-kekurangan tersebut untungnya berhasil ditutupi oleh performa Robbie sebagai Quinn, performa ketiga anggota BOP-nya yang juga keren terutama, Mary Elizabeth Winstead (Scott Pilgrim vs The World) sebagai Huntress, serta kumpulan soundtrack-nya yang sangat fun seperti filmnya.

© Warner Bros Pictures

Yap, benar banget Cilers. Sekali lagi terlepas lagi-lagi bukan rilisan DCEU yang sempurna, setidaknya Birds of Prey sangat fun dan cukup gila untuk disaksikan dari awal hingga akhir.

Namun memang, yang sama tak dipungkiri kami merasa kecewa oleh keputusan DC yang memperlakukan film ini sebagai “masking” untuk Quinn saja. Maksud kami kalau memang masih ingin mengedepankan atau tepatnya meneruskan kisah Quinn pasca Suicide Squad, mengapa tidak rilis saja film solo atau spin-off Harley Quinn?

Lagipula, keterlibatannya dalam plot berlian Sionis, juga terlihat sangat dipaksakan motif-nya. Intinya, Yan dan DC, benar-benar berusaha mati-matian untuk menyertakan Quinn dalam plot tersebut dan, plot pembentukan BOP, namun sayangnya sangat memaksakan dan gagal total.

Kalau saja mereka membuang Quinn atau menjadikannya sebagai karakter minor, pasti film ini akan lebih terlihat dan terasa sesuai seperti judulnya, Birds of Prey alias bukan The Harley & Mr. J Show.

 

Director: Cathy Yan

Starring:

Duration: 109 Minutes

Score: 6.8/10

WHERE TO WATCH

The Review

Birds of Prey

6.8 Score

Birds of Prey memang masih sangat menghibur, terlebih bagi kita yang awam (non-fans). Margot Robbie lagi-lagi menunjukkan tajinya sebagai si mantan gila Joker, Harley Quinn. Sayangnya, penampilannya terlalu mendominasi alhasil membuat kisah pembentukan Birds of Prey menjadi biasa-biasa saja. Bagi Cilers yang fanboy mitologi Batman, mungkin akan sedikit kecewa dengan film ini.

Review Breakdown

  • Acting 7
  • Cinematography 7
  • Entertain 7
  • Scoring 7
  • Story 6
Exit mobile version