“My father was a lighthouse keeper. My mother was a queen. But life has a way of bringing people together. They made me what I am.” – Arthur Curry.
Berbicara mengenai kisah pahlawan super yang paling berpotensi untuk dijadikan bahan lelucon, jawabannya sudah pasti adalah Aquaman. Bagaimana tidak, Aquaman adalah raja lautan, tempat di mana secara akal sehat sudah tidak akan bisa dihuni oleh entitas makhluk hidup seperti manusia. Luar angkasa sih masih bisa, karena kita mengenal istilah alien dan tendensi orang mengenai luar angkasa pun masih banyak yang diselimuti oleh misteri.
Bagaimana dengan dunia bawah laut? Tidak seperti itu. Nah, jika film Aquaman dibuat, apakah manusia-manusia bawah lautnya akan mengeluarkan gelembung-gelembung air dari mulutnya ketika berbicara? Apakah mereka memiliki sirip tambahan agar dapat berenang secara cepat? Hal-hal seperti ini yang menjadi tantangan bagi sutradara James Wan dan hebatnya ia berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut lewat eksekusi dari daya imajinasi yang tinggi.

Menjadi origin story dari Arthur Curry (Jason Momoa), Aquaman begitu stunning dalam memanjakan mata. James Wan mempertunjukkan imajinasi liarnya mengenai dunia bawah laut. Melihat bagaimana film menampilkan Atlantis begitu istimewa. Sangat spesial. Penonton belum pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya, di mana Atlantis adalah sebuah peradaban modern yang digambarkan layaknya Wakanda, tapi versi bawah laut. Untuk character movement dan portrayal, Aquaman memang tidak menampilkan gelembung-gelembung air ketika para tokoh sedang berbicara di bawah air. Tapi penyebabnya sudah mereka beri tahu ketika film menampilkan flashback ketika Arthur sedang berlatih bersama Volko (Willem Dafoe), tangan kanan kepercayaan Queen Atlanna (Nicole Kidman), ibu Arthur.
Justru hal-hal detail lainnya yang membuat Aquaman masih memperhitungkan unsur realistis di dalam filmnya. Para karakter tidak seratus persen menjejakkan kaki. Kemudian gerakan-gerakan tubuh mereka juga sedikit dipengaruhi oleh tekanan bawah laut yang kita tahu memiliki kekuatan yang sangat besar. Dua hal ini yang membuat tampilan visual Aquaman lebih bagus dibanding, let’s say, Wonder Woman dengan Themyscira-nya. Aquaman tidak hanya menyajikan keindahan, namun juga penjelasan dan unsur real dari ini dan itu.


Lebih jauh, dunia bawah laut ditampilkan secara ekstensif. Mulai dari monster-monsternya yang jauh dari kesan bodoh, kemudian karakteristik dari setiap kerajaan yang berbeda-beda. Atlantis adalah kerajaan yang terlihat modern dari luar, civilized, padahal didalamnya menyimpan kekejian dan nafsu keserakahan yang besar. Kemudian ada beberapa kerajaan lain. Ada yang tampil barbar dan berbahaya, ada yang menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur sehingga dianggap lemah, dan ada juga kerajaan yang sudah hancur. Kerajaan-kerajaan yang secara tersirat merupakan cerminan dari negara-negara di dunia ini kemudian dihadapkan pada polemik yang lebih luas lagi, yaitu menyangkut masa depan dunia bawah laut dan dunia permukaan.
Berbicara mengenai polemik, hubungan dunia daratan dan lautan ini juga harus menjadi highlight dari film Aquaman karena hubungan antara manusia dan ekosistem laut sangat relate hingga sekarang di kehidupan nyata, dan untuk filmnya sendiri hubungan darat dan laut membuat isu yang dibawa oleh Aquaman relevan hingga kapanpun. Tampilnya polemik yang berujung pada tindakan gila King Orm (Patrick Wilson) memiliki dasar yang kuat bagi seorang karakter dalam menjalankan keinginannya dan pengaruh kritik sosial dalam motivasi itu membuat kita bisa semakin peduli terhadap karakternya.

Manusia sering merusak alam tempat dia tinggal. Untuk lautan, manusia sering membuang sampah sembarangan, membunuh hewan laut secara ilegal atau dengan bahan peledak, mencemari lautan dengan limbah pabrik dan sebagainya. Ini menjadi materi yang sangat kuat untuk karakter seorang raja. Ditambah dengan cara pengasuhan sang raja ketika ia masih kecil, yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan eksistensi Arthur Curry, bagian ini seperti kata pepatah di mana sekali dayung dua sampai tiga pulau terlampaui.
Kemudian yang berikutnya adalah mengenai action sequences. Bersama dengan visual dunia bawah laut, adegan-adegan yang melibatkan fisik bikin film Aquaman semakin jago dalam urusan memberikan cinematic experience kepada penontonnya. Mulai dari awal film kita akan disuguhkan pertarungan epik yang diambil dengan cara long shots. Anyway, long shots ini seringkali dimanfaatkan dengan baik oleh James Wan dan membuat penonton akan berdecak kagum. Tempat melakukan adegan aksinya sendiri juga ada yang mengambil di tempat-tempat yang sulit. Sebuah tantangan tersendiri bagi film maker agar dapat menampilkan kontinuitas adegan dan mengatur tensi.

Lagi, James Wan bisa menjawabnya secara lugas. Tidak lupa, ada gaya camera work tertentu yang manaitu James Wan banget dan itu sudah pernah ia tampilkan di film “Furious 7”. Buat peperangannya, wow, amazing! Betul-betul dibikin chaos di mana makhluk-makhluk buas macam hiu tempur, kemudian tentara-tentara Atlantis beserta kapal perangnya yang berukuran raksasa, bentrok dengan kerajaan lain yang memiliki armada yang tidak kalah hebatnya. Di bagian pertempuran ini pula film menampilkan jaw-dropping-thing terbesarnya.
Cukup mengejutkan, karakter-karakter di dalam film, mulai dari karakter utama hingga pendukung, tampil memuaskan. Setelah tadi kita membahas soal King Orm dan motivasi-motivasinya, ada juga satu musuh lagi yang muncul di Aquaman yaitu Black Manta (Yahya Abdul-Mateen II). Tampilnya karakter ini dari awal film menjadi set-up mood yang begitu baik. Kita jadi mengerti kenapa sang tokoh menjadi jahat dan selain itu film dengan cerdas juga menunjukkan kelemahan Aquaman yang nanti akan berdampak kepada rivalitas mereka berdua.

Kemudian untuk karakter Mera, Amber Heard tidak hanya terlihat menakjubkan. Ia juga bisa menerjemahkan tuntutan narasi, di mana Mera adalah seorang ratu yang sangat peduli pada rakyatnya. Di salah satu scene yang emosional bersama Arthur, Mera menampilkan kekuatan karakternya dan itu membuat Arthur (dan juga kita), ikut terperangah.
Untuk Arthur-nya sendiri luar biasa. Jason Momoa adalah cast yang sempurna. Tidak seperti tampilan aktor lain yang juga memerankan superhero di mana mereka terlihat sebagai orang baik-baik, Arthur justru terkesan berandal. Ia kuat, sangar, kadang bodoh, dan sarkas. Sifat-sifat tadi cocok betul dengan rupa Jason yang perawakannya sudah tidak perlu disebutkan lagi di sini. Tapi yang jadi nilai tambahnya adalah bagaimana para penulis mengembangkan Arthur Curry yang juga dibikin anomali jika dibandingkan dengan karakter-karakter superhero lain.

Eksplorasinya naik-turun. Arthur, di awal film memang tampil gahar dengan menghabisi musuh-musuhnya. Tapi perjalanan Arthur setelah itu 180 derajat berbalik. Arthur merasa takut karena itu bukan wilayahnya. Nyalinya pun semakin ciut karena ia merasakan apa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Story arc ini mengundang simpati bagi orang yang kalau dilihat dari luar sih sebetulnya gak perlu dikasih simpati. Kemudian, story arc ini juga menjadi penghantar yang oke sebelum film sampai di turning point kedua.
Applause juga patut diberikan untuk cerita Aquaman karena memasukkan referensi dari kisah-kisah klasik. Tercatat ada Puteri Duyung dan Pinokio yang paling terlihat di sini. Kisah puteri duyung menjadi landasan bagi pengenalan karakter-karakter di awal cerita. Atlanna bisa diibaratkan sebagai Ariel yang terdampar kemudian diselamatkan oleh manusia. Bedanya, kisah puteri duyung mengikuti Ariel setelah diancam, sementara itu di Aquaman tentu fokus kemudian berpindah kepada Arthur Curry.

Nah, buat yang bertanya bagaimana film bisa menuturkan fase-fase kehidupan Arthur dari mulai anak-anak hingga dewasa secara runut, jawabannya ada di beberapa penempatan flashback. Lewat transisi yang halus dan timing yang sesuai, flashback ditunjukkan secara perlahan. Memang di awal akan ada pertanyaan mengenai beberapa hal, namun setelah flashback dimunculkan, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan lunas terjawab.
Kekurangan film ini terdapat pada unsur humornya. Meski hanya beberapa, kerap kali humor-humor Aquaman tidak efektif. Arthur sendiri lebih menjadi orang dengan sifat yang sarkas. Unsur lucu di film ini bukan yang terbaik dalam mewujudkan kesan menyenangkan, namun memang unsur humor bukan menjadi senjata utama Aquaman dalam menonjolkan perbedaannya dengan film-film superhero DC, yang mana terkenal dengan kesuraman, kegelapan, dan segala macam hal-hal yang kelam.

Kemudian kayaknya James Wan kangen sama “The Conjuring” yang pernah ia garap sebelumnya. Ini terlihat dari bagaimana film memainkan teknik on-screen dan off-screen yang seringkali membuat kita kaget. Frame tidak selalu harus memperlihatkan seluruh area dalam sebuah adegan. Disesuaikan dengan kemauan naratif, sineas bisa saja membuat kejutan dengan cara ini. Menyenangkan sih melihat teknik on-screen/off-screen digunakan James Wan justru di sebuah film action. Tapi di sisi lain teknik tersebut keasyikan ia gunakan sampai selalu menjadi awal dari banyak bagian aksi. Pada mulanya, penonton bisa saja kaget sama teknik model begini. Tapi sayangnya, jika tampil cukup sering justru akan membuat Aquaman, at certain points, terasa monoton.
Tidak salah jika menyebut Aquaman sebagai film DCEU terbaik sejauh ini. Mulai dari tone filmnya, Aquaman jelas terlihat lebih ringan dan cerah bila dibandingkan dengan yang lainnya. Visual efeknya membuat mata terbelalak karena film secara berani menampilkan visualisasi dunia bawah laut secara masif dan ekstensif. Isu yang dibawakan masih relate dengan keadaan dunia saat ini, bahkan sampai kapanpun. Ceritanya menarik karena siapa yang tidak tertarik dengan cerita kerajaan dengan segala clash-nya. Karakter-karakternya tampil kuat, dengan penulisan yang tidak lebih humanis untuk karakter utamanya. Dengan sudah disetujuinya proyek untuk film kedua, Aquaman dinilai sukses membuat DC kembali berada di jalan yang diharapkan.
Director: James Wan
Starring: Jason Momoa, Amber Heard, Patrick Wilson, Nicole Kidman, Yahya Abdul Mateen II, Willem Dafoe, Ludi Lin, Dolph Lundgren, Temuera Morrison, Michael Beach, Randall Park
Duration: 143 Minutes
Score: 8.5/10