“The unresolved past can certainly wreak havoc on the present.” – Sarah.
Film yang trailernya yang keluar di bulan Mei ini sempat mengundang ketertarikan banyak penikmat film horror, terlebih dengan trailernya yang sangat misterius dan ada embel-embel dibuat oleh produser “Get Out” dan “Us”.
Dengan jaminan itu dan juga trailernya yang sekilas memperlihatkan dua setting sekaligus, di zaman perang sipil dan perbudakan di Amerika dan masa sekarang, membuat kita pasti bertanya-tanya, seperti apa ceritanya nanti. Apakah akan secara eksplisit menjelaskan tentang masalah perbudakan dan relasinya ke sosok karakter utama yang diperankan oleh Janelle Monáe atau akan mengarah ke plot cerita tertentu?
Nah sekarang kita akan lihat sama-sama bagaimana kisah sesungguhnya dari film perdana yang disutradarai dan ditulis oleh Gerard Bush dan Christopher Renze ini.

“Antebellum” dibuka dengan setting di sebuah perkebunan di era Perang Saudara di pertengahan abad 19. Tampak terlihat sebuah rumah besar dengan perkebunan kapas di sekelilingnya. Janelle Monáe yang diketahui bernama Eden, baru saja sampai di tempat itu, dan tampak terpaku melihat sebuah scene seorang wanita kulit hitam yang diperbudak, mencoba melarikan diri dan dikejar oleh tentara Konfederasi yang menjaga budak tersebut.
Adegan yang berlangsung menyedihkan itu kemudian berlanjut dengan scene yang tampak mengganggu. Eden yang sudah tinggal lama di tempat itu melihat sejumlah budak baru datang dan salah satunya, Julia (Kiersey Clemons), tampak mengenali dirinya dan tahu darimana Eden berasal.
Keanehan itu juga ditambah dengan terdengarnya suara pesawat yang melintas di atas perkebunan itu, dan para budak dilarang menengok ke atas. Sebuah anomali lainnya muncul di paruh ketiga saat ponsel digunakan oleh tentara Konfederasi itu.
30 menit berjalan setelah banyak karakter lainnya silih berganti masuk, tiba-tiba Eden tertidur dan mendadak terbangun di masa sekarang. Kini Eden berganti karakter menjadi Veronica Henley, seorang penulis novel terkemuka dan mempunyai keluarga bahagia dengan satu anak yang tampaknya tak mempunyai problematika hidup.

Suatu hari ia diharuskan menjadi pembicara di sebuah konferensi di New Orleans, dan bertemu teman-temannya sehabis konferensi selesai. Namun anehnya ia sempat berbincang-bincang dengan salah satu karakter yang muncul di era perbudakan bernama Elizabeth (Jena Malone), yang di masa modern sempat berbincang-bincang dan memuji lipstik yang dipakai Veronica. Tak lama setelah itu, dia mencuri lipstik itu dan kemudian menculik Veronica. Tak hanya Elizabeth, tokoh lainnya di perkebunan juga ia temui di zaman modern ini.
Veronica kemudian terbangun, dan mendapati dirinya kembali ke masa perbudakan, dari sini konklusi mulai terlihat aneh. Ternyata sekelompok orang kulit putih berusaha menculik orang kulit hitam sebagai dramatisasi Perang Sipil, yang banyak dilakukan di Amerika Serikat.
Tampaknya apa yang dilakukan pada zaman perbudakan itu adalah rekayasa yang dilakukan di masa sekarang. Modus kecemburuan sosial tampaknya menjadi isu penting atas apa yang telah diperoleh kaum kulit hitam dan berhasil naik status sosialnya di atas kulit putih.
Struktur cerita film sebetulnya sangat sederhana, ada eksposisi dan konklusi. Sebagian besar film mengikuti struktur pengenalan karakter, bagaimana karakter itu berjuang di bagian tengah dan terus menuju konklusi akhir.

Sayangnya, “Antebellum” menggunakan dua awalan non-kronologis dengan memotong bagian tengah atau perjuangan dari karakter utama dan masuk ke twist yang membuat film ini tidak memuaskan secara keseluruhan.
Yang bisa kita lihat adalah dua awalan tersebut (babak 1), ternyata berdiri sendiri tanpa ada penghubung (babak 2), yang menuntun kita ke arah babak akhir (babak 3).
Audiens tak bisa mendapatkan apa-apa dari dua karakter yang diperankan Janelle Monáe. Narasi yang secara jukstaposisi berjalan beriringan ini memang mempunyai konstruksi yang lemah, walaupun pesan yang ingin disampaikan sangat bagus, yaitu isu rasisme yang di Amerika, yang kembali mencuat sejak munculnya gerakan sosial Black Lives Matter.
Walaupun film ini penggarapannya tidak maksimal, ada beberapa elemen yang patut mendapat pujian lebih. Sinematografi “Antebellum” dieksekusi dengan sangat indah di awal film dimulai. Mengingatkan kita akan garapan Alfonso Cuaron di Roma, di mana camera movement-nya terus berjalan secara dinamis menangkap lansekap yang luas di perkebunan tersebut, tanpa fokus ke karakter tertentu.

Namun hanya di babak pertama ini saja yang berjalan sangat baik, suasana para budak kulit hitam yang di bawah tekanan, digambarkan dengan sangat mencekam. Selepas dari itu, apa yang sudah dibangun dengan susah payah harus sirna.
Apa tujuan dari orang kulit putih melakukan hal tersebut? Mengapa harus bersusah payah berpakaian ala cosplay dengan seragam tentara Konfederasi dan wardrobe era pertengahan abad ke-19, hanya untuk menganiaya orang kulit hitam?
Semua serba ambigu, dan belum terungkap dengan jelas, hingga karakter utama berhasil melarikan diri dari semua realita menyesatkan yang dibangun oleh sejumlah orang bodoh yang berpikir kalau era perbudakan bisa mengekang kebebasan sejumlah orang kulit hitam di zaman modern ini.

Entah apa yang ada di pikiran penulis naskah film yang ditulis dengan sangat buruk ini. Trailer film-nya memang sangat menipu kita. Kita seperti mendapat imaji suasana horor mencekam, yang malah tak nampak sama sekali di filmnya.
Memang sangat disayangkan cerita yang mempunyai potensi besar ini harus pupus di 30 menit pertama saja. Bila kita ingin mencari film serupa dengan isu rasialisme yang dikemas sangat baik, kita tonton nikmati saja film “Get Out” (2017) yang matang dalam bertutur dan memberikan kejutan demi kejutan yang tak terduga hingga selesai.
Director: Gerard Bush, Christopher Renze
Casts: Janelle Monáe, Eric Lange, Jena Malone, Jack Huston, Kiersey Clemons, Gabourey Sidibe
Duration: 105 Minutes
Score: 6.1/10
The Review
Antebellum
Antebellum mengangkat kisah seorang penulis novel ternama yang terlempar ke masa perbudakan di era Perang Sipil. Apakah yang dialaminya benar-benar terjadi ataukah hanya sekedar mimpi saja?