Alasan Publik Tertarik pada ‘The Tinder Swindler’

Film dokumenter terbaru Netflix ‘The Tinder Swindler’ adalah bagian dari tren menarik yang menggambarkan ketertarikan publik terhadap sosok penipu.

 

Film dokumenter terbaru Netflix ‘The Tinder Swindler’ telah berhasil memikat para penonton sejak ditayangkan perdana pada 2 Februari lalu. Film dokumenter tersebut berkisah tentang bagaimana tindakan seorang penipu yang menggunakan aplikasi kencan Tinder sebagai cara untuk memeras uang dari para korbannya.

Netflix melaporkan bahwa sekitar 45,8 juta orang-orang yang sudah berumah tangga turut menyaksikan film dokumenter tersebut, dan tentu hal itu mengungkapkan bahwa mereka tertarik untuk mengetahui cerita asli di balik sosok penipu yang meresahkan.

Dibandingkan dengan film fiksi yang menceritakan kisah penipu atau pencurian uang, justru film dokumenter yang mengisahkan sosok penipu berdasarkan kisah nyata, lebih laris dan menarik untuk ditonton dan mendapat respon yang lebih banyak.

‘The Sting’ (1973) merupakan salah satu film terlaris di AS yang kisah ceritanya terinspirasi ari aksi penipuan yang dilakukan oleh Charley dan Fred Gondorff. Atau film ‘Catch Me If You Can’ yang dibintangi Leonardo DiCaprio yang membuat penonton teringat kembali dengan aksi penipuan Frank Abagnale.

Minat yang tinggi dari para penonton terhadap film dokumenter ‘The Tinder Swindler’ sebenarnya hanya menjadi sebagian kecil saja, karena sebelumnya pun memang sudah banyak yang tertarik untuk menyaksikan kisah-kisah penipuan dalam film yang didasarkan dari kisah nyata.

Hal ini menggarisbawahi jika penampilan luar para penipu banyak ditampilkan dengan tidak terlalu mengancam. Individu yang memiliki standar kecantikan konvensional, mampu tampil lebih simpatik dan lolos dari hukuman lebih dari orang yang dianggap tidak menarik bahkan di pengadilan.

Jadi masuk akal bahwa atribut ini berperan dalam bagaimana penonton itu sendiri bersiaga dengan pihak yang bersalah saat melihat film tersebut. Atribut dangkal berperan di dalamnya menjadi objek kasih sayang bahkan setelah catatan kejahatan mereka tersedia untuk dibaca.

Tentu saja hal ini semakin mudah untuk ditelan ketika disajikan dengan karakter dan skenario fiktif, atau membingkai kejahatan sedemikian rupa sehingga memberikan insentif kepada penonton untuk mengakar pada pelaku kejahatan tersebut,

Semua ini sangat meresahkan karena membuat penipu tampak heroik dan cerdas dapat mengorbankan korban yang tidak manusiawi.

Bagaimana ketertarikan masyarakat kepada para korban hanya berlaku setelah film yang mengisahkan kejadian tersebut viral. Padahal masih banyak penipuan-penipuan di sekitar kita yang butuh perhatian lebih.

Seringkali hal ini dilakukan untuk membuat penonton masuk ke dalam gagasan bahwa penjahat adalah semacam dalang. Pada akhirnya terserah pada pemirsa, untuk mengenali bahaya adaptasi tersebut serta penulis untuk tidak memfitnah korban kehidupan nyata.

Meski kesuksesan film dokumenter ‘The Tinder Swindler’ membawa hal menguntungkan bagi para korban karena mereka mendapat lebih banyak dukungan berarti.

Exit mobile version