Tak dipungkiri bahwa dekade 2010, adalah dekade futuristik. Dalam artian, semua-semuanya sudah canggih banget. Alhasil, gak heran jika di dekade ini kita melihat banyak film yang mengandalkan kecanggihan teknologi-nya.
Tapi di saat yang sama, untungnya hal tersebut juga diimbangi dengan munculnya sineas-sineas yang kian cerdas dalam membuat filmnya. Sehingga, gak heran juga jika banyak banget film di dekade ini yang memiliki ide atau bobot kisah yang bisa membuat kita sebagai audiens kian ter-edukasi saja.
Walau memang, banyak juga yang masih “gitu-gitu” aja. Namun secara umum sekali lagi, film-film yang dirilis di dekade ini jauh lebih canggih, kreatif, dan cerdas banget. Dan dari seluruh film-film kerennya tersebut, berikut adalah 30 film terbaik di dekade 2010-an.
30. Avengers: Endgame (2019)

Ending di film semi terakhir MCU, Avengers: Infinity War (2018), ternyata sukses membuat kita menjadi terbengong-bengong dan juga gregetan gak sabaran sendiri untuk segera menyaksikan kisah akhir dari final 3 fase awal MCU-nya.
Dan selama menunggu, gak dipungkiri kita merasa was-was kalau-kalau, nantinya Avengers: Endgame, menjadi final yang biasa-biasa saja atau bahkan, mengecewakan banget. Tapi faktanya ketakutan tersebut tidaklah terbukti.
Sebaliknya, Avengers: Endgame, justru sukses memukau kita dengen visualnya yang epik serta pencampuran elemen sci-fi (baca: time-travel) yang sangat keren di dalam kisahnya. Makin terasa epik lagi setelah pertarungan final Avengers vs Thanos yang sukses membuat bulu kuduk super merinding itu.
29. Hereditary (2018)

Tak dipungkiri bahwa ketika mendengar nama Ari Aster dua tahun lalu, kita langsung garuk kepala sendiri. Pasalnya memang sineas asal New York, AS ini, kala itu belum familiar namanya.
Sepanjang karirnya kala itu, ia hanya menyutradarai film-film pendek yang gak ngetop. Alhasil, ketika menyaksikan cuplikan trailer Hereditary pertama kali, kitapun menjadi sangat skeptis tapi di saat yang sama, juga penasaran banget.
Dan setelah kita melihat film layar lebar perdananya ini, dipastikan nama Aster langsung melekat di benak kita. Melalui Hereditary, Aster sukses menunjukkan kalau ia adalah salah satu sutradara drama horor ter-modern saat ini dengan gaya penceritaannya “puitis”-nya itu (setidaknya itulah yang kita rasakan ketika menyaksikan filmnya).
Selain itu, akting seluruh aktor-nya terutama si senior, Toni Collette (Knives Out), juga sangat superb yang membuat Hereditary menjadi salah satu film dari dekade 2010 yang wajib ditonton terlebih, bagi kita yang memang fans berat genre horor atau thriller.
28. Knives Out (2019)

Bisa dikatakan sudah sangat lama banget kita tidak menyaksikan film ber-genre Whodunit detektif misteri kalau audiens Indonesia menyebutnya.
Tapi semenjak dirilisnya adaptasi modern novel Agatha Christie, Murder on the Orient Express (2017) secara perlahan namun pasti, gaung genre ini mulai berkibar lagi. Dan untuk kian memanaskannya lagi, maka dirilislah film arahan Rian Johnson (Looper) ini.
Dan bisa diterka, film ini langsung hit. Bahkan, jauh lebih hit dari Orient Express. Hal ini tidak hanya dikarenakan penampilan keren dan super meyakinkan dari seluruh aktor-aktornya, namun cara Johnson mengarahkan kisahnya juga sangat lihai.
Pokoknya seperti film-film misteri detektif kebanyakan sehingga, kedua mata dan otak pun ikut sibuk sendiri memecahkan kasus pembunuhan si novelis milyader Harlan Thrombey (Christopher Plummer) yang sedang ditangani oleh si detektif swasta nyentrik, Benoit Blanc (Daniel Craig).
27. Blancanieves (2012)

Ketika dirilis, film Spanyol arahan Pablo Berger (Torremolinos 73) ini, gak dipungkiri sukses mencuri perhatian habis-habisan. Pasalnya, Blancanieves pada esensinya adalah kisah Snow White and the Seven Dwarves versi negara ini.
Selain kisahnya yang sudah sangat familiar, hal lainnya juga adalah fakta bahwa filmnya dikonsepkan sekaligus ditampilkan dalam format film bisu hitam putih (silent film) ala tahun 1910-1920 an. Dengan keunikan sekaligus keberanian visinya ini serta tentunya interpretasi dongeng sejuta umatnya yang sangat keren, maka tak heran, jika film ini kala itu, sukses meraih berbagai penghargaan film bergengsi.
26. Skyfall (2012)

Setelah kekecewaan yang didapatkan oleh film keduanya, Quantum of Solace (2008), bisa dikatakan fans veteran franchise 007, merasa super was-was kalau-kalau Skyfall akan mengalami hal serupa.
Namun ketika akhirnya dirilis, Skyfall sukses memberikan suntikan excitement lagi ke seluruh fans. Hal ini tentunya dikarenakan pengarahan Sam Mendes (1917) yang sangat pintar dalam mengelola tensi emosinya, dan juga kemumpuniannya dalam mengelola twist-twist yang disuguhkan (yap termasuk twist si “M” itu).
25. Ex Machina (2014)

Tak dipungkiri bahwa kisah robot berwujud seperti manusia (humanoid robot) yang memiliki A.I super cerdas, sangatlah fun untuk disaksikan.
Terlebih, dibuat ala seperti film Frankenstein. Dalam artian, si robot saking cerdasnya menjadi melawan penciptanya karena si pencipta terllau kejam atau seenaknya saja dengan ciptaannya.
Dan Ex Machina sukses menampilkan aspek tersebut dengan super fun dan canggih banget. Hal lainnya yang membuat filmnya begitu keren adalah penampilan seluruh bintangnya terutama Alicia Vikander (Tomb Raider) yang sangat jenius dalam memerankan kepolosan sekaligus kecerdasan yang dimiliki karakter robot humanoid-nya, Ava.
24. Logan (2017)

Pasca kesuksesan yang didapatkan The Wolverine (2013) dan kemunculannya yang sangat signifikan di X-Men: Days of Future Past (2014), tak heran jika kita semakin hype untuk menyambut Logan. Semakin hype ketika mengetahui bahwa filmnya akan menjadi film terakhir bagi Hugh Jackman sebagai si mutant berkuku adamantium ini.
Hype tersebut semakin menggila ketika menyaksikan trailer-nya yang sangat mengagumkan. Dan benar saja Chillers. Logan adalah film penutup / perpisahan terbaik bagi karakter X-Men yang dicintai banyak fans ini.
Sutradara James Mangold (The Wolverine) dan Jackman, sukses menampilkan film superhero ini dengan jauh lebih grounded, emosional, namun tidak menghilangkan elemen superhero-nya itu. Dan ketika ending-nya tiba, kita turut tersenyum haru sembari mengucapkan perpisahan terakhir ke Logan.
23. Amour (2012)

Kami masih ingat jelas kala itu film asal Perancis ini, booming banget. Bahkan di perhelatan 85th Academy Awards, Amour sukses memenangkan Best Foreign Film.
Dan semua respon yang didapatkan oleh film arahan Michael Haneke (Funny Games) tersebut, memang pantas sih. Karena Amour sukses menampilkan kisah cinta miris pasangan lansia yang berakhir super tragis dengan sangat WOW!
Kekerenannya juga difaktori oleh akting gokil dari Emmanuelle Riva sebagai si istri yang stroke sebelah, Anne Laurent. Sayang banget di ajang penghargaan tersebut, dirinya gagal menggaet piala aktris terbaiknya. Hmm, apa mungkin kegagalannya karena faktor usianya yang kala itu 85 tahun ya? Hmm, bisa jadi sih.
22. Whiplash (2014)

Bermusik itu harusnya fun. Apalagi jika kita adalah seorang drumer yang ingin berkonsentrasi di aliran Jazz. Pasalnya main drum Jazz itu sama seperti belajar matematika yang susah setengah mati. Tapi rasanya prinsip ini memanglah bukan prinsip si guru drum plontos, Terence Fletcher (J.K. Simmons).
Pasalnya ia kerap melatih seluruh muridnya dengan sangat killer. Tidak ada ampun bahkan, ada salah satu muridnya yang dibuat latihan hingga ia benar-benar tewas! Alhasil setelah menyaksikan filmnya, banyak dari kita yang mungkin kala itu, jadi pikir dua kali untuk les drum. Walau kenyataannya di dunia nyata, tidaklah demikian.
Namun terlepas pelatihannya yang menyebalkan itu, toh pada akhirnya membuat film arahan Damien Chazelle (La La Land) ini sangat intens, emosional, dan mengagumkan baik dari aspek cerita maupun teknisnya.
21. Interstellar (2014)

Ide cerita berat, twist berat dan membuat kita berpikir. Yap siapa lagi selain Christopher Nolan (Memento) yang bisa melakukan hal tersebut bukan? Belum lagi kini kisahnya menyangkut perjalanan ke wormhole di angkasa.
Namun seperti biasa walau ribet dan berlapis-lapis, entah mengapa film-filmnya tetaplah terasa menghibur dan kita akhirnya menjadi suka banget bahkan, ingin mempelajarinya lebih dalam. Dan sekali lagi Interstellar sukses menghidupkan pernyataan tersebut.
20. 1917 (2019)

Gak dipungkiri bahwa dibanding Dunkirk (2017), 1917 jauh lebih diantisipasi hype-nya oleh sleuruh audiens (terlebih yang fanboy film perang).
Selain karena berlatar pada Perang Dunia 1, juga filmnya ditangani oleh Sam Mendes. Belum lagi kala itu disebutkan bahwa filmnya menerapkan teknik long shot sehingga terkesan filmnya menerapkan pengambilan yang berkelanjutan (continious shot).
Alhasil gabungan seluruh aspek tersebut, sukses menghasilkan sebuah film perang terkeren di era sinema super modern sekarang ini.
19. Shoplifters (2018)

Apabila kamu senang banget dengan film Korea Selatan peraih Oscar Februari lalu, Parasite (2019), bisa dipastikan kamu akan suka dengan film asal Jepang ini. Pasalnya, plot kisah Shoplifters sedikit mirip temanya dengan film arahan Bong Joon-ho tersebut.
Tapi bedanya disini, kalau Parasite mengisahkan satu keluarga yang menipu jalannya untuk bekerja di rumah majikan kaya, maka Shoplifters mengisahkan satu keluarga sangat tidak mampu yang bertahan hidupnya dengan mencuri barang atau keperluan sehari-hari dari toko.
Film ini dipuja karena approaching ceritanya yang dianggap sangat alamiah. Ya hampir sama juga dengan Parasite. Alhasil, gak heran jika film ini dinominasikan sebagai film asing terbaik di ajang Oscar 2019. Namun sayangnya tidak seperti Parasite yang menang besar di tahun selanjutnya, film ini tidak membawa pulang Oscar-nya. Tapi, tetap saja film ini sangatlah layak untuk ditonton.
18. Lady Bird (2017)

Sampai sekarang pun, kami masih bertahan pada prinsip kami bahwa Lady Bird, harusnya yang membawa pulang penghargaan film terbaik (Best Picture) daripada The Shape of Water (2017) di 90th Academy Awards.
Pasalnya si rising star, Saoirse Ronan (Brooklyn), benar-benar tampil dengan sangat cuek bebek dan kompleks sebagai si gadis burung-nya. Ditambah lagi, pengarahan sekaligus naskah yang ditulis oleh Greta Gerwig (Nights and Weekends) terasa sangat alami dan grounded banget.
Alhasil ketika menonton filmnya, membuat semuanya terasa seperti sedang menyaksikan program dokumenter hidup si Lady Bird saja.
17. Roma (2018)

Serupa seperti di poin Lady Bird di atas, semestinya adalah film hitam putih Netflix inilah yang membawa pulang Best Picture daripada Green Book di 91st Academy Awards.
Green Book memang keren dan pas dengan tema perlakuan rasis yang masih dialami hingga detik ini di Amerika Serikat. Tapi secara bobot plot dan gaya pengambilan gambar, maka Roma lah juaranya. Tapi yap, Netflix bukanlah standar pihak akademi bukan?
16. Coco (2017)

Selain memiliki tampilan animasi yang kian halus dan colorful saja, hal lain yang membuat Coco keren adalah kemauan Pixar serta sineas Lee Unkrich (Toy Story 3) untuk mengeksplor lebih jauh kebudayaan Meksiko.
Dan kerennya lagi, eksplorasi ini juga dikombinasikan dengan tema musikal yang sangat fun untuk disimak dan didengar berkali-kali.
15. The Grand Budapest Hotel (2014)

Selain pengarahan sekaligus naskah Wes Anderson (The Royal Tenenbaums) yang sangat orisinil nan super kreatif, yang membuat The Grand Budapest Hotel sangat istimewa, adalah presentasinya yang sangat indah untuk dipandang.
Selain kostumnya, pemilihan palet-palet warnanya, juga membuat kita makin betah dan penasaran saja untuk menyaksikan film misteri pembunuhan pemilik hotelnya, Madame D (Tilda Swinton).
14. A Separation (2011)

Film mengisahkan pasangan bercerai serta efek yang ditinggalkan terhadap anak mereka, memang sudah banyak banget. Namun yang belum pernah, adalah film bertema demikian yang berasal dari Iran.
Selain itu yang kala itu juga belum banyak ditampilkan di berbagai film manapun, adalah elemen penyakit Alzheimer yang menjadi bumbu di kisah perpecahannya.
Dengan kombinasi first timer tersebut serta performa natural yang ditampilkan oleh Peyman Moaadi dan Leila Hatami sebagai suami istrinya, gak heran jika A Separation, berakhir dengan sangat sukses atau dengan kata lain, menjadi film Iran pertama yang meraih piala Oscar.
13. Capernaum (2018)

Umumnya film yang menampilkan anak di bawah umur sebagai dua karakter utamanya, tidaklah begitu berat bobot kisahnya. Malah yang ada sangat enteng dan fun banget untuk dicerna. Sayangnya, prinsip tersebut, gak berlaku bagi film asal Lebanon ini.
Bagaimana tidak dikatakan demikian Chillers? Capernaum mengisahkan pertemuan anak 12 tahun, Zain El Hajj (Zain Al Rafeea) yang tinggal di Beirut yang tidak sengaja bertemu dengan imigran dari Ethiopia bernama Rahil (Yordanos Shiferaw) dan anaknya yang masih balita, Yonas (Boluwatife Treasure Bankole).
Seiring berjalannya kisah pertemuan ketiganya, berbuah pada layangan tuntutan hukum atas tuduhan pengabaian anak (Child Neglect). Intinya sekali lagi, Capernaum adalah film yang dilakoni oleh anak, mengisahkan anak, namun dengan konsekuensi sekaligus eksekusi yang sangat berat nan dewasa.
12. Call Me By Your Name (2017)

Kalau dipikir secara logis dan juga moril, sangat riskan sekali ketika Hollywood melampuhijaukan adapatsi novel berjudul sama karya Andre Aciman ini.
Selain karena unsur gay-nya, hal lainnya juga dikarenakan kedua karakter utama homoseksual-nya, terpaut yang cukup signifikan alias 7 tahun. Tapi untunglah sutradara Luca Guadagnino (Suspiria) sangat awarer akan hal tersebut. Alhasil, dirinya pun bekerja sekeras mungkin agar adapatsinya tetap dilihat dari sisi kisah indahnya oleh seluruh audiens.
Dan bisa dikatakan dirinya sukses besar. Apabila film lesbian elegan adalah Carol (2015), maka versi gay-nya adalah Call Me by Your Name. Indah dan emosional banget film ini.
11. Arrival (2016)

Entah mengapa kalau film yang plot kisahnya berfokus pada seseorang yang bisa berkomunikasi dengan alien, pasti bakalan berakhir keren. E.T (1982) telah membuktikannya. Dan film adaptasi kisah pendek “Story of Your Life” milik Ted Chiang inipun kian membuktikannya.
Selain mengisahkan seorang linguis yang bisa bekomunikasi dengan alien yang meng-invasi bumi, Arrival uniknya juga menyuguhkan plot “terawang” (preminition) terhadap masa depan diri sendiri beserta keluarga barunya yang kian meningkatkan nilai interest kita untuk menyaksikan filmnya ini.
10. Get Out (2017)

Kami mau tanya ke kalian Chillers. Ketika mendengar nama Jordan Peele, apa yang pertama kali terlintas di benak? Kami yakin sebagian besar dari kalian akan menjawab kalau tidak komedi, ya tertawa.
Dan tidak heran. Pasalnya sineas / komedian / aktor ini memang dari debutnya lebih banyak aktif di genre tersebut. Alhasil, gak heran juga jika kemudian banyak yang terkejut banget ketika melihat hasil kerjanya di film drama horor ini.
WOW! Siapa sangka, Peele mampu menampilkan kombinasi sci-fi, komedi, dan horor dengan tema rasial yang sangat kental nan relatable? Pokoknya kombinasi tersebut sukses memberikan kesegaran tersendiri terhadap Us. Dan kalau boleh jujur disini, mau dirilis di 2017, 2016, bahkan 1985 pun, Us dijamin akan tetap terasa beda dan stand-out sendiri.
9. La La Land (2016)

Ketika mendengar Damien Chazelle yang membuat filmnya ini, tak dipungkiri walau kala itu trailer-nya pun belum dirilis, kami sudah merasa hype. Ya tentunya hype ini dipengaruhi oleh hasil keren yang ditampilkan oleh sutradara asal Rhode Island, AS tersebut di Whiplash.
Selain itu faktor bikin hype lainnya adalah kembalinya pasangan aktor-aktirs yang selalu memiliki chemistry terbaik, Emma Stone dan Ryan Gosling. Oh ya jangan lupakan juga dengan pemilihan palet warna, sinematografi, serta tentunya, lagu-lagunya yang keren banget.
Dengan kombinasi tersebut, terus terang kami masih heran saja mengapa justru Moonlight yang kala itu memenangkan piala film terbaiknya (best picture).
8. Mad Max: Fury Road (2015)

“Mad Max Fury Road!, Mad Max Fury Road!, Mad Max Fury Road!” Yap tentunya kamu masih ingat banget dong ketika film ini disebut terus namanya di perhelatan 88th Academy Awards tahun 2016.
Pasalnya di perhelatan tersebut, film keempat Mad Max ini sukses membawa pulang 6 dari 10 nominasi Oscar-nya. Dan gak heran memang. Karena si kreator franchise-nya, George Miller, sukses menjadikan film ini tidak hanya sebagai film Mad Max terbaik, namun juga salah satu film action terbaik yang pernah ada.
Pokoknya Miller sukses mentata seluruh adegan serta adrenalin-nya dengan sangat sangat apik dan keren.
7. Spider-Man: Into the Spider-Verse (2018)

Gak dipungkiri bahwa terlepas kita biasa saja atau memang super nerd, pokoknya setiap kali kita mendengar film superhero atau sci-fi yang premis-nya melibatkan karakter-karakter yang datang dari multi semesta (multi-verse), kita pasti langsung hype banget.
Lebih jauh, filmnya juga jaminan sukses. Dan hal ini dibuktikan oleh film animasi layar lebar perdana Spider-Man ini. Selain itu karakter utama filmnya adalah si Spider-Man favorit, Miles Morales (Shameik Moore). Oh ya animasi-nya yang menampilkan elemen 2,5 dimensi comic style, juga menjadi faktor utama mengapa film ini sampai berjaya di perhelatan 91st Academy Awards tahun 2019 lalu.
6. The Master (2012)

Si Joker, Joaquin Phoenix, 7 tahun sebelum sukses menjelma menjadi si badut kriminal Gotham, tampil dengan sangat simpatetik nan gemilang di salah satu karya masterpiece Paul Thoman Anderson (Boogie Nights) ini.
Memerankan mantan veteran Perang Dunia 2 yang memiliki kecanggungan untuk kembali ke masyarakat luas, sangat disayangkan kala itu Phoenix gagal memenangkan penghargaan aktor terbaik Oscar-nya.
Padahal selain Joker, bagi kami dan sebagian besar movie mania, selain Arthur Fleck di Joker, adalah perannya sebagai Freddie Quell inilah yang merupakan peran terberat dan ter-intens Phoenix.
5. Boyhood (2014)

12 tahun, sekali lagi 12 TAHUN! Adalah jumlah / rentang waktu syuting dari film terambisius Richard Linklater (Dazed & Confused) ini. Dengan fakta tersebut, gak heran jika banyak dari kita yang merasa terhenyak dan sembah sujud sendiri.
Linklater sukses banget dalam memproduksi film tumbuh kembang Mason Evans Jr. (Ellar Coltrane) dengan mengalir begitu saja. Alhasil kitapun sebagai audiens ketika menyaksikan, juga serasa menjadi bagian tumbuh kembang seluruh aktornya saja. Dan ya bisa dikatakan, hingga detik ini tidak ada lagi film yang bisa meniru atau menyamai keambisiusan seklaigus kesuksesan Boyhood.
4. Joker (2019)

Tak dipungkiri bahwa (alm) Heath Ledger sukses menaikkan standar karakter musuh bebuyutan Batman, Joker di The Dark Knight (2008). Di tangannya, sosok Joker benar-benar terlihat jauh lebih sadis, beringas, dan psychotic.
Dengan fakta universal tersebut, gak heran jika banyak dari kita-kita (terutama fanboy) yang merasa super was-was ketika mengetahui si aktor super berbakat, Joaquin Phoenix (Gladiator), ditunjuk untuk menjadi sosok Joker barunya di debut film solo live-action-nya ini.
Akan tetapi di saat yang sama entah mengapa kita juga berpikir positif kalau Phoenix akan sama atau jauh lebih keren dari sahabatnya tersebut. Dan ketika filmnya akhirnya dirilis benar saja bukan chillers? Si aktor introvert ini, sukses membuat kita lupa dengan sosok Joker-nya Ledger.
Namun selain penampilan “sakit jiwa-nya” tersebut, hal lain yang membuat Joker sangat keren adalah komitmen sutradara Todd Philips (The Hangover) yang care dan respect terhadap mitologi karakter dan kisahnya.
3. Inception (2010)

Mimpikah? Sungguhankah? Ya itulah pertanyaan yang selalu kita tanyakan dari awal hingga akhir film super ambisius milik Christopher Nolan (Memento) ini.
Keambiguan ending serta tema film-nya yang bermain-main dengan alam bawah sadar individunya, tak ayal membuat Inception, lagi-lagi karya cerdas Nolan yang kian mengukuhkannya sebagai salah satu “profesor film” di Hollywood.
2. Moonlight (2016)

Umumnya sutradara akan memilih salah satu temanya. Kalau memang ia ingin menyutradarai film bertema LGBT maka ia akan konsentrasi di tema tersebut. Apabila memang ingin menyutradarai bertema rasial, maka ia juga akan berkonsentrasi di tema tersebut.
Apabila digabungkan kedua tema itu dalam satu film, biasanya ia akan kesulitan untuk menyeimbangkannya (berat sebelah tema konsentrasi-nya). Tapi kerennya, kesulitan tersebut tidaklah dialami oleh seorang Barry Jenkins (Medicine for Melancholy).
Yang ada malah Jenkins, sukses banget menampilkan perjuangan hidup keras yang dialami kedua karakternya: Chiron (Trevannte Rhodes) dan Kevin Jones (Andre Holland), yang notabene sudah berkulit hitam, homoseksual pula. Dan kerennya lagi, semuanya ditampilkan dengan sangat indah.
1. Parasite (2019)

Yap. Film mana lagi bukan yang pantas menempati posisi puncaknya? Dan gak salah jika Parasite kerap dianggap sebagai film terkeren nan terbaik di dekade 2010-an. Well, bahkan film ini memenangkan penghargaan film terbaik di ajang Oscar tahun ini.
Sutradara Bong Joon-Ho (Okja) adalah sosok sineas terjenius di tidak hanya di negara-nya, Korea Selatan, namun juga di seluruh Asia! Joon-Ho sangat cerdas dalam mengelola seluruh alur filmnya agar audiens tidak merasa bosan dan merasa predictable ketika menyaksikan kisahnya yang di atas kertas, memang sangat generik banget.
Kemumpuniannya dalam mengelola twist demi twist-nya, sukses mensejajarkannya dengan sineas Hollywood seperti: M. Night Shyamalan (The Village), dan bahkan Martin Scorsese (Shutter Island). Intinya dengan Parasite-nya, Joon-Ho kini sudah menjadi sosok yang paling dianggap dan dipercaya di seluruh industri perfilman.
Nah, itulah tadi 30 film terkeren dekade 2010-an nya. Dari seluruh film yang ada di daftar, yang manakah yang menurut kalain paling keren di dekade-nya?
Editor: Juventus Wisnu