“Chances are we are not going to make it out of this one. If we quit now what happened back home is going to happen again and again. It’s you who’s got to make this decision.” – Captain Mitch Nelson
Inti film ini sebenarnya sederhana, yakni balas dendam. Serangan teroris yang menghantam Amerika secara besar-besaran di World Trade Centre, New York dan Pentagon, Washington DC pada 11 September 2001 telah ‘membangunkan macan yang sedang tidur’. Kejadian yang tak diduga ini memicu serangkaian operasi besar-besaran oleh banyak badan dan lembaga terkait akibat bobolnya pertahanan Amerika yang didalangi oleh Al Qaeda itu. Semua matra angkatan bersenjata yang dimiliki Amerika berlomba mempersiapkan serangan balasan kepada Taliban yang mempunyai home base di Afghanistan.
Tak terkecuali di film ini, yang terinspirasi dari kisah nyata 12 orang tentara dari pasukan khusus Angkatan Darat, Green Beret yang mempunyai fungsi utama yakni kontra teroris, pengintaian, serangan langsung dan peperangan jangka panjang, dimana spesialisasi ini tak dimiliki pasukan khusus lainnya di Amerika. Dengan kemampuan lengkap seperti ini membuat pasukan ini menjadi ujung tombak serangan Amerika ke negara lain untuk membuka jalan bagi unit pasukan lainnya masuk.
Tim yang dikomandoi oleh Kapten Mitch Nelson (Chris Hemsworth) sebenarnya sedang cuti akibat promosi jabatan. Namun kejadian 9/11 ini membuatnya ingin kembali bertempur bersama teman-temannya yang memang kehilangan sosok kapten karena pengganti Nelson belum juga datang. Wakilnya, Hal Spencer (Michael Shannon) bersama anak buah Nelson, Sam Diller (Michael Pena), Ben Milo (Trevante Rhodes), Vern Michaels (Thad Luckinbill) dan lainnya dipersiapkan untuk berangkat sebulan setelah kejadian dengan kode pasukan Operational Detachment Alpha 595 (ODA 595).
12 orang ini merupakan tim pertama dari Amerika yang disusupkan untuk menghancurkan kota yang dikuasai dan merupakan markas Taliban terbesar di Afghanistan yakni Mazar-i-Sharif. Bersama dengan Jenderal Abdul Rashid Dostum (Navid Negahban), salah satu jenderal dari Aliansi Utara yang dibiayai oleh CIA, Nelson membantu Dostum untuk melacak dan menghancurkan kota-kota kecil yang diduduki Taliban sebelum mereka masuk ke Mazar-i-Sharif. Taliban yang waktu itu dikuasai oleh Mullah Razan (Numan Acar) memang terkenal kejam dan bengis. Segala politik era keterbukaan yang sudah dirasakan Afghanistan sebelumnya, musnah setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.
Yang membuat operasi yang dilakukan ini unik adalah Nelson bersama pasukannya diharuskan menggunakan kuda untuk berperang. Tak lain karena kontur dan medan yang berbukit-bukit naik turun yang memang sangat sulit dilakukan pasukan kaveleri lain selain berkuda. Kuda yang memang dari dulu digunakan pasukan kaveleri dari banyak kerajaan sejak ribuan tahun silam ini kembali digunakan mereka untuk melawan tank, mortar dan artileri berat lainnya yang digunakan oleh Mullah Razan sebagai alat pertahanan. Dan setelah itu Nelson dan pasukannya berusaha menandai kota-kota yang diduduki Taliban dengan laser untuk selanjutnya dibom oleh pesawat pembom Amerika B-52.
Film yang disutradarai oleh Nicolai Fuglsig ini sebenarnya bukan tema baru. Film dengan dasar patriotisme Amerika melawan tirani dan penjahat perang telah banyak dibuat seperti Lone Survivor (2013) atau seperti yang terbaru, 13 Hours (2016). Namun film yang naskahnya digarap oleh Ted Tally (Silence Of The Lambs) dan Peter Craig (The Hunger Games: Mockingjay Part 1-2) memang sangat menarik.
Dengan tema dan setting serupa, film ini lebih layak disandingkan dengan Rambo III (1988), walaupun sosok Rambo disitu seorang diri melawan pasukan Uni Sovyet terkesan tidak masuk akal, namun dengan dukungan Mujahidin (salah satu suku di Afghanistan yang sempat berkonfrontasi dengan Soviet era 80-an), Rambo mampu melawan satu peleton pasukan Soviet dengan mudahnya.
Begitupun halnya dengan film ini, kedua belah pihak juga saling membantu untuk menumpas Taliban. Serangkaian adegan peperangan dan pemboman yang ditonjolkan film ini memang masif dan memukau ketimbang film bertema serupa. Dengan tampilan multi angle, kita disuguhkan ledakan tak hanya dari depan, namun juga dari atas dan belakang. Dan dominasi adegan peperangan di film ini memang lebih intens dan dominan ketimbang dialog drama yang terkesan minim.
Sejak awal, alur film ini terkesan slow burning, tidak ada intensi dalam menggali sisi emosional antar karakter sebelum masuk ke topik permasalahan. Karakter tersebut dibiarkan lewat begitu saja tanpa adanya eksekusi lebih jauh. Dan sayangnya film ini hanya terfokus pada sosok Nelson semata dan mengabaikan karakter lain yang semestinya harus lebih didalami.
12 Strong memang bukan film drama yang menjual tangisan dan uraian air mata dari para pemainnya. Ini memang film laki-laki yang tak semata mengumbar sisi machoisme namun lebih kepada sisi heroisme dengan semangat patriotisme ala Amerika yang kental namun kali ini dilakukan secara kolektif dalam menumpas kedigdayaan terorisme yang baru mulai tumbuh saat itu.
Untuk Chillers yang memang menyukai film bertema peperangan, rasanya film ini layak ditunggu. Dengan deretan cast macam Chris Hemsworth, Michael Shannon, Michael Pena dan William Fichtner, film ini sangat menjanjikan dan mampu menghibur Chillers semua.