Sejumlah film legendaris mulai dari ‘The 400 Blows’, ‘In The Mood For Love’, hingga ‘The Godfather’, masuk dalam daftar 10 film terbaik sepanjang masa versi MUBI yang harus kita tonton.
Sebelum kita beranjak lebih jauh lagi, Cineverse akan memberi sedikit informasi, apa itu MUBI, sejarahnya, dan kiprahnya di dunia film internasional.
MUBI (sebelumnya bernama The Auteurs-red) merupakan platform streaming film kurasi film global, yang juga memproduksi dan bertindak sebagai distributor film. MUBI memproduksi dan mendistribusikan film lewat bioskop yang dibuat oleh para pembuat film baru dan pembuat film yang sudah berpengalaman, agar bisa ditayangkan juga secara eksklusif di platform milik MUBI. Selain itu, MUBI menerbitkan Notebook, sebuah kritik film dan publikasi berita, yang menyediakan tiket nonton mingguan untuk film-film rilis baru terpilih melalui MUBI Go.
Cikal bakal MUBI, The Auteurs didirikan pada tahun 2007 oleh Efe Çakarel, yang mulai mengerjakan model bisnis untuk MUBI setelah tidak dapat menonton ‘In the Mood for Love’ secara online saat berada di sebuah kafe di Tokyo, dan pada tahun 2010, The Auteurs mengganti namanya menjadi MUBI.
MUBI adalah layanan streaming yang dikuratori, yang menawarkan koleksi film pilihan yang selalu berubah secara berkala, dan memperkenalkan satu film baru setiap harinya.
Platform streaming MUBI tersedia di lebih dari 190 negara, dan bisa diakses lewat web, Android TV, Chromecast, perangkat Roku, PlayStation, Amazon Fire TV, Apple TV, dan LG dan Samsung Smart TV. Selain itu MUBI juga bisa diakses lewat perangkat seluler termasuk iPhone, iPad dan Android.
Untuk di Indonesia sendiri, untuk pengguna baru kita mendapat trial gratis selama 7 hari untuk menonton, dan setelah itu kita akan dikenakan biaya Rp95 ribu/bulan, dan bisa kita batalkan kapan saja.
Sekarang kita akan melihat 10 film terbaik sepanjang masa menurut MUBI yang mungkin membuat kita penasaran. Apa saja pilihannya? Yuk kita cek daftar lengkapnya di bawah ini!
10. The 400 Blows (1959)
‘The 400 Blows’ merupakan salah satu film yang merefleksikan aliran New Wave Prancis yang pada saat itu sedang marak. Film yang merupakan debut film dari sutradara François Truffaut ini ditulis juga olehnya bersama dengan Marcel Moussy.
Film ‘The 400 Blows’ merupakan salah satu film drama yang paling menyentuh. Bercerita tentang seorang anak remaja laki-laki bernama Antoine Doinel (Jean-Pierre Léaud) yang memiliki masalah di rumah dan juga sekolah.
Sayangnya, Antoine merasa bahwa tidak ada satu pun yang mampu mengerti dirinya sehingga ia menjadi tidak terkontrol. Melalui debut film pertamanya ini, François Truffaut sukses membuat mahakarya yang membuat banyak orang terpukau dan terenyuh.
‘The 400 Blows’ menggunakan lokasi di Paris dan Honfleur, dan saat film ini membuka Festival Film Cannes 1959, saat itu juga film ini diakui secara luas, memenangkan banyak penghargaan internasional, termasuk Sutradara Terbaik di ajang tersebut, juga memperoleh Critics Award di New York Film Critics’ Circle pada tahun 1959, dan memperoleh Best European Film Award tahun 1960 di ajang Bodil Awards.
Selain memenangkan penghargaan di atas, film ini memperoleh nominasi untuk Skenario Asli Terbaik di ajang Academy Awards yang ke-32. ‘The 400 Blows’ juga memperoleh rating 98% “Certified Fresh” di Rotten Tomatoes berdasarkan 66 review, dengan rata-rata nilai 9.3/10.
Konsensus kritis situs web tersebut menyatakan, “The 400 Blows merupakan film New Wave Prancis yang menawarkan kisah tentang remaja yang jujur, simpatik, dan sepenuhnya memilukan tanpa rasa nostalgia yang basi.”
9. So Long My Son (2019)
‘So Long, My Son’ menelusuri kehidupan dua keluarga selama tiga dekade pergolakan sosial, politik dan manusia di Cina. Setelah kehilangan seorang anak dalam kecelakaan tragis, jalan mereka terpisah. Nasib pasang surut, dan keberuntungan berubah di bawah pengaruh perubahan wajah suatu negara. Bahkan ketika hidup mereka berbeda, mereka bersama-sama mencari kebenaran dan rekonsiliasi di tempat tragedi itu terjadi. Tapi terkadang butuh waktu seumur hidup untuk mengucapkan selamat tinggal.
Film bergenre drama tahun 2019 ini disutradarai Wang Xiaoshuai, dan saat terpilih untuk berkompetisi di Festival Film Internasional Berlin ke-69. ‘So Long, My Son’berhasil memenangkan dua penghargaan utama, dengan Wang Jingchun dan Yong Mei masing-masing memenangkan Silver Bear untuk Aktor Terbaik dan Silver Bear untuk Aktris Terbaik.
‘So Long, My Son’ mendapat rating 100% di Rotten Tomatoes berdasarkan 35 ulasan, dengan skor rata-rata 8.6/10. Konsensus kritis situs tersebut mengatakan, “Intim dalam fokus namun epik dalam ukuran dan cakupan, So Long, My Son membuat kisah memilukan tentang tragedi keluarga melawan perubahan wajah Tiongkok modern.”
8. In The Mood For Love (2000)
Film asal Hong Kong ‘In the Mood for Love’ mengangkat tema tentang perselingkuhan di dalam kehidupan rumah tangga. Berlatar tahun 1960-an, film ini mengisahkan Chow Mo-wan (Tony Leung) dan Su Li-zhen (Maggie Cheung) yang saling jatuh cinta setelah mengetahui pasangan mereka selingkuh satu sama lain.
Masuk dalam film top dunia, mahakarya Wong Kar-wai bukan tentang film perselingkuhan biasa. Namun, film ini berhasil menggambarkan bagaimana rentannya perasaan manusia yang mudah berpaling kepada siapa pun.
‘In the Mood for Love’ ditayangkan perdana di Festival Film Cannes pada 20 Mei 2000, dan menerima pujian dari para kritikus dan nominasi untuk Palme d’Or. Tony Leung sendiri berhasil meraih penghargaan sebagai Aktor Terbaik (aktor Hong Kong pertama yang memenangkan penghargaan di ajang itu-red). Film ini ini dianggap sebagai salah satu film terbesar sepanjang masa dan salah satu masterpiece dalam sinema Asia. Dalam survei tahun 2016 oleh BBC, film tersebut terpilih sebagai film terbaik kedua pada abad ke-21 oleh 177 kritikus film dari seluruh dunia.
7. The Gleaners And I (2000)
Melihat orang-orang yang sedang memungut sisa tanaman dari ladang setelah panen menjadi inspirasi bagi sineas ternama Agnes Varda untuk film ‘The Gleaners And I’. Dia mencoba menelusuri alasan mengapa mereka melakukan hal tersebut.
‘The Gleaners and I’ adalah sebuah film dokumenter Prancis tahun 2000 karya Agnès Varda yang menampilkan beberapa jenis pungutan yang ada di Prancis. Agnes Varda memfilmkan dan mewawancarai para pemungut cukai di Prancis dalam segala bentuk, mulai dari mereka yang memetik ladang setelah panen, hingga mereka yang menjelajahi tempat sampah di Paris. Pembuatan film yang dekat dan intim, dijalani oleh orang miskin di negara itu, serta oleh sutradara film itu sendiri, Agnes Varda.
‘The Gleaners And I’ masuk dalam Official Selection di Festival Film Cannes 2000, dan kemudian memenangkan penghargaan di seluruh dunia. Dalam jajak pendapat Sight & Sound 2014, kritikus film memilih ‘The Gleaners and I’ sebagai film dokumenter terbaik ke-8 sepanjang masa. Pada tahun 2016, film ini muncul di No. 99 dalam daftar 100 film terbaik abad ke-21 versi BBC.
Untuk penghargaan yang diraihnya, ‘The Gleaners And I’ memenangkan penghargaan di seluruh dunia, termasuk penghargaan tertinggi di Chicago International Film Festival, Prague One World Film Festival, European Film Awards, National Society of Film Critics (USA), New York Film Critics Circle, Boston Society of Film Critics, Kritikus Film, Asosiasi Kritikus Film Los Angeles, Sindikat Kritikus Sinema Prancis, dan Masyarakat Kritikus Film Online.
Film tersebut juga dinyatakan sebagai film Prancis terbaik tahun 2000 oleh Persatuan Kritikus Film Prancis, dengan pernyataannya “yang melanggar tradisi dengan tidak memilih film dramatis.”
Melalui film dokumenter ‘The Gleaners And I’ (2000), Agnes Varda mencoba memberikan kritikan cerdas terhadap orang-orang yang boros dalam berbelanja suatu barang atau konsumerisme.
6. Stalker (1979)
Bergenre fiksi ilmiah, film ‘Stalker’ bercerita tentang seorang pria bernama Stalker (Aleksandr Kaydanovskiy) yang tengah memandu seorang penulis dan seorang profesor ke sebuah tempat misterius dan terlarang di hutan belantara bernama The Zone. Ketika seseorang memasuki The Zone, tempat itu dipercaya mampu mengabulkan permintaan apapun. Namun, mereka menyadari bahwa mungkin diperlukan sesuatu lebih dari sekedar tekad untuk bisa berhasil.
‘Stalker’ disutradarai oleh Andrei Tarkovsky dengan skenario yang ditulis oleh Arkady dan Boris Strugatsky, berdasarkan pada novel milik mereka, “Roadside Picnic” yang diterbitkan pada tahun 1972. Film ini menggabungkan unsur-unsur fiksi ilmiah yang dibalut tema filosofis, psikologis, dan teologis yang dramatis.
Saat pertama kali dirilis di Goskino pada Mei 1979, ‘Stalker’ mendapat ulasan yang beragam, tetapi pada tahun-tahun berikutnya film tersebut diakui sebagai film klasik dunia.
British Film Institute memberi peringkat ke #29 dalam daftar “50 Film Terbesar Sepanjang Masa” lewat jajak pendapat yang dilakukan untuk Sight & Sound pada September 2012. Film ini berhasil menjual lebih dari 4 juta tiket, sebagian besar di Uni Soviet (nama Rusia waktu itu-red).
Kritikus Derek Adams dari Time Out Film Guide membandingkan Stalker dengan ‘Apocalypse Now’ karya Francis Ford Coppola, yang juga dirilis pada 1979, dan berpendapat bahwa “sebagai perjalanan ke jantung kegelapan” Stalker terlihat “jauh lebih persuasif daripada Coppola.” Pengulas film Slant Magazine, Nick Schager, memuji film tersebut sebagai “alegori yang lentur tanpa henti tentang kesadaran manusia”.
Pada tahun 2018, film tersebut terpilih sebagai film non-bahasa Inggris terbesar ke-49 sepanjang masa dalam jajak pendapat dari 209 kritikus di 43 negara.
Pada agregator ulasan Rotten Tomatoes, film ini diberi peringkat 100% berdasarkan 41 ulasan dengan peringkat rata-rata 8.6/10. Konsensus kritisnya menyatakan, “Stalker sangat kompleks, perumpamaan yang menarik, juga visualisasi yang tak terlupakan, terlebih renungan filosofis dari latar sci-fi/thriller-nya.”
Meskipun film ini bertempo lambat, film ‘Stalker’ memiliki sinematografi yang indah dan bermakna. Bagi para penonton yang menyukai filosofi dan sci-fi wajib menonton film yang satu ini.
5. Seven Samurai (1954)
‘Seven Samurai’ merupakan salah satu film yang memiliki pengaruh besar terhadap sejarah perkembangan film di dunia, bahkan film ini masuk ke daftar film terbaik sepanjang masa.
Film bergenre drama samurai epik Jepang yang dirilis pada tahun 1954 ini ditulis, diedit, dan disutradarai oleh Akira Kurosawa. Berlatar pada tahun 1586 selama periode Sengoku dalam sejarah Jepang, ‘Seven Samurai’ mengikuti kisah di sebuah desa, saat para petani yang putus asa, mempekerjakan tujuh rōnin (samurai tak bertuan) untuk memerangi kawanan bandit yang akan kembali untuk mencuri hasil panen mereka.
Pada masa itu, ‘Seven Samurai’ merupakan film termahal Jepang. Butuh waktu satu tahun untuk syuting dan menghadapi banyak kesulitan. Itu adalah film domestik terlaris kedua di Jepang saat rilis pada tahun 1954. Banyak ulasan membandingkan film tersebut dengan film barat.
Dengan durasinya yang mencapai tiga setengah jam, Akira mampu membangun tensi dan emosi melalui pergerakan para karakter di setiap frame. Selain itu, Akira mampu menyeimbangkan aksi laga dengan jalan cerita yang seru. Inilah yang membuat kualitas ‘Seven Samurai’ tak perlu diragukan lagi.
‘Seven Samurai’ secara konsisten mendapat peringkat tinggi dalam daftar kritikus film terbaik, seperti jajak pendapat BFI Sight & Sound dan Rotten Tomatoes. Selain itu ‘Seven Samurai’ terpilih sebagai film berbahasa asing terbesar dalam jajak pendapat kritikus internasional di BBC pada 2018.
‘Seven Samurai’ sangat berpengaruh di dunia perfilman, sebagai salah satu film yang paling sering “dibuat ulang, dikerjakan ulang, direferensikan” di bioskop. Contoh yang paling kita kenal adalah The Magnificent Seven yang pertama kali populer pada tahun 1960, dan dibintangi Yul Brynner, dan yang kedua di tahun 2016, disutradarai Antoine Fuqua dan dibintangi Denzel Washington.
4. 2001: A Space Odyssey (1968)
‘2001: A Space Odyssey’ merupakan sebuah film fiksi ilmiah epik tahun 1968 yang diproduksi dan disutradarai oleh Stanley Kubrick. Skenarionya ditulis oleh Kubrick dan Arthur C. Clarke, yang terinspirasi oleh cerita pendek milik Clarke pada tahun 1951 “The Sentinel” dan cerita pendek lainnya oleh Clarke.
Clarke juga mengembangkan novelisasi film, yang dirilis setelah rilis film, dan sebagian ditulis bersamaan dengan skenario. Film ini dibintangi oleh Keir Dullea, Gary Lockwood, William Sylvester dan Douglas Rain, dan mengikuti perjalanan ke Jupiter dengan superkomputer HAL setelah penemuan monolit alien.
Film ini terkenal karena penggambaran penerbangan luar angkasa yang akurat secara ilmiah, perintis efek spesial, dan visualisasi yang serba ambigu. Stanley Kubrick bahkan menghindari teknik sinematik dan naratif konvensional; di mana dialog jarang digunakan, dan ada sekuens panjang yang hanya diiringi musik. Soundtrack film ini menggabungkan banyak karya musik klasik, oleh komposer termasuk Richard Strauss, Johann Strauss II, Aram Khachaturian, dan György Ligeti.
Tanggapan kritis terhadap ‘2001: A Space Odyssey’ sangat beragam, mulai dari mereka yang melihatnya sebagai apokaliptik yang gelap hingga mereka yang melihatnya sebagai penilaian kembali optimis dari harapan umat manusia. Kritikus mencatat eksplorasi tema-tema seperti eksistensialisme, evolusi manusia, teknologi, kecerdasan buatan, dan kemungkinan kehidupan di luar bumi.
‘2001: A Space Odyssey’ dinominasikan untuk empat kategori di ajang Academy Awards, dan meraih Efek Spesial Terbaik di ajang tersebut. Film ini sekarang secara luas dianggap sebagai salah satu film terbesar dan paling berpengaruh yang pernah dibuat. Pada tahun 1991, film tersebut dianggap “penting secara budaya, sejarah, atau estetika” oleh Perpustakaan Kongres Amerika Serikat dan dipilih untuk dilestarikan di National Film Registry.
3. Where Is The Friend’s Home? (1987)
Sekilas kisah yang ditawarkan ‘Where Is The Friend’s Home?’ terlihat sederhana. Namun, jangan salah karena film ini mampu membangun emosi para penontonnya melalui jalan cerita yang menyentuh.
‘Where Is The Friend’s Home?’ adalah sebuah film drama Iran yang rilis pada tahun 1987, yang disutradarai dan ditulis oleh Abbas Kiarostami. Judul yang diambil dari puisi Sohrab Sepehri, dianggap sebagai bagian pertama dalam trilogi Koker yang dibuat oleh Kiarostami, diikuti oleh Life, and Nothing More… dan Through the Olive Trees, yang semuanya berlatar di Koker, Iran.
Film ini menceritakan kisah sederhana tentang seorang anak laki-laki yang berusia delapan tahun bernama Ahmed yang tak sengaja membawa buku temannya, Mohammad. Meskipun sebenarnya Ahmed tak mengetahui di mana rumah Mohammad sebenarnya, ia tetap berniat untuk pergi ke sana. Karena, jika temannya gagal menyerahkannya pada hari berikutnya, kemungkinan dia akan dikeluarkan.
Oleh karena itu film ini dilihat sebagai metafora untuk rasa kewajiban sipil, tentang kesetiaan dan kepahlawanan sehari-hari, juga mengajak kita untuk melihat arti kebaikan dan tanggung jawab dari sisi yang berbeda. Kepercayaan tradisional masyarakat pedesaan Iran juga digambarkan.
Film ini termasuk di antara sepuluh besar dalam daftar BFI dari 50 film yang harus kita tonton pada usia 14 tahun. Film ini juga meraih Bronze Leopard di Festival Film Locarno 1989, dan juga memenangkan Golden Plate di Fajr Film Festival 1987.
2. Portrait Of A Lady On Fire (2019)
Film ‘Portrait Of A Lady On Fire’ menceritakan kisah cinta terlarang antara dua wanita, yaitu Marianne (Noemie Merlant) dan Heloise (Adele Haenel). Kisah cinta keduanya mulai terjalin saat Marianne ditugaskan oleh Ibu Heloise melukis putrinya.
Berlatar tahun 1770-an, film karya Celine Sciamma mampu menunjukkan chemistry keduanya yang kuat dan intim. Tempo yang bergerak lambat, ‘Portrait Of A Lady On Fire’ menyajikan sinematografi yang memanjakan mata.
‘Portrait of a Lady on Fire’ dirilis perdana di Prancis pada 18 September 2019, dan terpilih untuk memperebutkan Palme d’Or di Festival Film Cannes 2019. Namun, film tersebut memenangkan Queer Palm di Cannes, menjadi film pertama yang disutradarai oleh seorang wanita yang memenangkan penghargaan tersebut. Sciamma juga memenangkan penghargaan untuk Skenario Terbaik di Cannes.
Film tersebut dinominasikan untuk Independent Spirit Awards, Critics’ Choice Awards dan Golden Globe Awards untuk Film Berbahasa Asing Terbaik dan dipilih oleh National Board of Review sebagai salah satu dari lima film berbahasa asing terbaik pada tahun 2019.
1. The Godfather (1972)
‘The Godfather’ adalah sebuah film ini bercerita tentang kehidupan seorang mafia bernama Vito Corleone (Marlon Brando) dan keluarganya dalam menghadapi konflik antar kubu mafia. Film yang dirilis pada tahun 1972 ini disutradarai oleh Francis Ford Coppola dengan skenario yang dibuat oleh Mario Puzo dan Coppola, dan berhasil meraup keuntungan tertinggi pada saat itu.
‘The Godfather’ dibintangi oleh beberapa bintang besar seperti Marlon Brando, Al Pacino, James Caan, Robert Duvall, Diane Keaton, John Cazale dan Talia Shire. Marlon Brando berperan sebagai Vito Corleone, pemimpin dari keluarga kriminal di New York, pada era 1945-1955, dan keluarganya dalam menghadapi konflik antar kubu mafia. Selain itu kita akan melihat transformasi Michael Corleone, anak dari Vito, yang akhirnya menggantikan ayahnya menjadi bos mafia yang kejam.
Dialihwahanakan dari novel laris karya Mario Puzo dengan nama yang sama, ‘The Godfather’ dianggap sebagai salah satu film terbesar dan terbaik dalam dunia perfilman, juga sebagai salah satu film yang paling berpengaruh, terutama dalam film bergenre gangster. ‘The Godfather’ juga mempunyai jalan cerita yang memikat dengan akting memukau dari para pemerannya. Tak heran jika film ini menuai banyak pujian dari para kritikus film.
‘The Godfather’ berhasil memenangkan 3 piala Oscar dari 11 nominasi yang didapatkannya pada perhelatan Academy Awards ke 45 tahun 1973, dan meraih 3 Piala Oscar untuk Film Terbaik, Aktor Terbaik (Marlon Brando), dan Skenario Adaptasi Terbaik (Mario Puzo dan Francis Ford Coppola). Film ini akhirnya terpilih untuk dilestarikan di Amerika Serikat National Film Registry pada tahun 1990.
Itulah 10 film terbaik versi MUBI yang kualitasnya tak perlu dipertanyakan. Dari semua daftarnya, mana film yang ingin segera kamu tonton? Manfaatkan kesempatan trial yang disediakan MUBI untuk menonton banyak film berkualitas/