Terlepas tahun 2019 merupakan tahun terbaik bagi industri film, namun di saat yang sama tak dipungkiri tahun ini juga “sukses” memberikan kita beberapa kekecewaan bahkan kekesalan.
Yap, lumayan banyak juga rilisan film-film berkualitas mengecewakan bahkan, buruk yang dirilis di tahunnya. Walau kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi, tapi faktanya hal tersebut terjadi yang alhasil, membuat kita menjadi malas untuk menyaksikan film lagi.
Dan berikut adalah 10 diantara film yang yang sukses menjengkelkan kita selama 2019 tersebut. Sekali lagi, daftar ini bersifat SUBYEKTIF.
10. Detective Pikachu
Oke, oke, mungkin beberapa dari Chillers menyukainya. Dan memang, film yang diadaptasi dari video game berjudul sama ini memang masih terasa enak disaksikan.
Namun marilah kita kesampingkan sedikit perasaan generik tersebut dan mulai untuk lebih melihat sisi teknis atau presentasi filmnya. Dan apabila dilihat dari sisi tersebut, secara keseluruhan Detective Pikachu, terasa sangat datar.
Mungkin bagi yang memainkan game-nya, merasa bahwa adaptasinya memuaskan karena sesuai seperti game-nya. Tapi sekali lagi, kami menilainya dari keseluruhan kualitas filmnya.
Dan dari sisi penilaian tersebut, film yang digawangi oleh Justice Smith (Jurassic World: Fallen Kingdom) dan Ryan Reynolds (Deadpool) ini terasa sangat membosankan. Padahal menurut kami, Detective Pikachu bisa jauh lebih keren lagi.
9. Annabelle: Comes Home
Siapa sih yang tidak terasa tertarik ketika sebuah film menjanjikan kita dengan konsep premis: Horor bertemu Night at the Museum? Pastinya kita akan tertarik banget bukan? Dan faktanya, bagian ketiga dari seri horor Annabelle ini, sukses menghantarkan janji tersebut.
Tapi masalahnya disini, pada akhirnya, Annabelle: Comes Home justru memberikan kita sajian horor yang tidak lebih dari sekedar taktik jump-scares generik saja. Mungkin yang membuatnya sedikit lebih beda adalah lokasinya.
Dikatakan demikian karena, setting lokasi yang ditampilkan adalah rumah sekaligus museum “artefak” magis nan creepy yang dikumpulkan dari TKP kasus supranatural yang ditangani oleh Ed & Lorraine Warren (Patrick Wilson & Vera Farmiga).
Namun lebih dari itu, yeah, Annabelle: Comes Home tidak memberikan kesegaran atau sesuatu yang baru sama sekali.
8. Child’s Play
Film orisinil si boneka pembunuh Chucky (Brad Dourif), tak dipungkiri merupakan film horor yang sangat legendaris.
Selain dikarenakan konsep kisahnya yang unik di eranya, juga akting atau performa Dourif dalam menyuarakan Chucky sangatlah luar biasa.
Belum lagi dalam mengedepankan sisi takutnya, sutradara Tom Holland (bukan yang jadi Spider-Man ya!), mengedepankan sisi creepy dan stalking-nya.
Alhasil, membuat filmnya terasa sangat intens dan keren. Fast forward ke tahun 2019, reboot-nya diproduksi dengan si Luke Skywalker, Mark Hamill (Star Wars) sebagai pengisi suara Chucky-nya.
Sebenarnya secara keseluruhan reboot-nya oke-oke saja. Tapi sayangnya reboot ini lebih mengedepankan sisi sadis (gory) ketimbang horornya. Padahal, justru sisi horor lah yang menjadi trademark dari franchise karya Don Mancini ini.
Alhasil, membuat kami sebagai fanboy orisinil bagaikan menyaksikan “kontes membunuh sadis” daripada menyaksikan film Child’s Play yang sesungguhnya. Apabila bukan karena Hamill, dijamin reboot ini benar-benar tidak akan bisa ditonton sama sekali.
7. Alita: Battle Angel
16 tahun. Sekali lagi, 16 tahun! Ya itulah rentang waktu yang dibutuhkan oleh James Cameron (Avatar) dan Robert Rodriguez (Sin City) untuk memproduksi film hybrid antara live-action dan animasi 3-D ini.
Dan waktu tersebut tak dipungkir bukanlah waktu yang sebentar. Alhasil, tak heran jika ekspektasi super tinggi sangat membububung tinggi terhadap filmnya. Namun pada akhirnya, Alita: Battle Angel tidaklah lebih dari mahakarya ambisius Cameron, Avatar (2009).
Spesifiknya, Alita hanyalah film yang memamerkan tampilan grafis super yahud nan canggih namun, tipis dengan perkembangan plot yang super menarik. Alita tak dipungkiri tidak lebih dari sekedar film yang dinikmati dalam kapasitas home video saja.
Atau, bagi kita-kita yang memang selalu terpukau dengan film berpenampilan visual keren saja.
6. Glass
Unbreakable (2000) dan Split (2016), tak dipungkiri merupakan dua film yang sukses membuktikan ke kita semua bahwasanya sineas blasteran India mumpuni, M. Night Shyamalan, juga tidak kalah kerennya dalam menangani genre superhero (terlebih dunia sinematik).
Terlebih ia membuatnya dengan format khas-nya yang ikonik itu (twist tak terduga dan penuh ketegangan). Dengan fakta tersebut, tak mengherankan jika kita langsung memasang ekspektasi setinggi-tingginya terhadap penutup trilogi-nya ini.
Ekspektasi kian meninggi ketika mengetahui bahwa karakter protagonis Unbreakable, David Dunn (Bruce Willis) kembali ke franchise-nya melalui film ini.
Namun setelah menyaksikan filmnya, ekspetasi tinggi super positif tersebut, berubah menjadi teriakan kekecewaan yang amat sangat.
Hal ini dikarenakan secara keseluruhan, Glass menyuguhkan penutup yang sangat cheesy. Bahkan twist-nya pun bagi beberapa, sangat bisa diterka dari jauh-jauh hari (well, faktanya twist-nya memang hanya ada 2 pilihan kalau tidak A, ya B).
5. The Curse of La Llorona
Padahal film yang juga merupakan bagian dari keluarga The Conjuring Universe ini, dirilis lebih duluan sebelum Annabelle: Comes Home. Tapi ironisnya, justru film inilah yang lebih buruk daripada film ketiga si boneka iblis tersebut.
Bahkan bisa dikatakan adalah The Curse of La Llorona lah yang “sukses” menurunkan kualitas dunia sinematik horor gagasan James Wan (Aquaman) tersebut.
Dan faktor utama yang membuat filmnya begitu mengecewakan adalah film ini memiliki plot yang seharusnya diceritakan di era 80-an. Selain itu faktor menakut-nakutinya juga sangat biasa bahkan sangat “mengesalkan”.
Dari awal sampai akhir, film arahan Michael Chaves ini benar-benar mengandalkan teknik “jump scares” murahan yang tiada hentinya yang kian lama kian annoying.
Terlebih lagi, Chaves tidak terlalu peduli untuk menguatkan sisi naratif kisahnya. The Curse of La Llorona tak dipungkiri merupakan “final warning” bagi The Conjuring Universe.
Apabila di rilisan-rilisan selanjutnya, Wan cs tidak kembali pada jalurnya, maka Chillers tidak usah heran atau terkejut, jika nanti usia dunia sinematiknya tidak akan selanggeng seperti yang diharapkan
4. X-Men: Dark Phoenix
Entahlah Chillers, Kami juga menanyakan hal serupa. Apakah memang sesulit itu untuk mengadaptasi storyline komik se-ngetop seperti The Dark Phoenix? Tercatat sudah dua kali Hollywood mencoba untuk mengadaptasinya.
Pertama, melalui X-Men: The Last Stand (2006) lalu, melalui Dark Phoenix ini. Dan gilanya keduanya masih saja gagal total dalam menghidukan sosok dan kisahnya.
Sebenarnya Dark Phoenix sudah memberikan usaha semaksimalnya dengan menghidupkan kembali beberapa adegan kunci yang ada di komik orisinilnya. Namun pada akhirnya, tetap saja berakhir mengecewakan.
Pasalnya sutradara yang juga penulis naskah veteran franchise X-Men, Simon Kinberg, masih saja terjebak dengan kesalahan repetitif yang terdapat si The Last Stand. Alhasil, membuat Dark Phoenix sama saja dengan film penutup trilogi awal X-Men tersebut.
Untung saja seluruh aktor yang tampil benar-benar menampilkan akting terbaik mereka. Kalau tidak, dijamin Dark Phoenix akan jauh lebih buruk lagi hasilnya.
3. Terminator: Dark Fate
Bisa dikatakan semenjak Terminator 2: Judgment Day (1991), kualitas franchise sci-fi cyborg android pencegah perang nuklir bersama keluarga Connor ini, mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Hanya Terminator Salvation (2009) saja yang bisa kita katakan agak “mendingan”. Namun Terminator: Genisys (2015)?
Sayangnya, tidak demikian. Terlepas film tersebut secara tidak langsung ingin me-retcon keseluruhan plot-nya selama ini, tetap saja pada akhirnya terasa sangat awkward.
Oleh karenanya, tak mengherankan jika kemudian fans langsung merasa hype ketika Dark Fate diumumkan. Rasa pengharapan tersebut semakin kian kuat saja ketika mengetahui bahwa pemeran Sarah Connor di 2 film pertamanya, Linda Hamilton, balik lagi dan, kisahnya dijadikan sekuel langsung dari Judgment Day.
Akan tetapi pada akhirnya, Dark Fate berakhir sangat mengecewakan. Dikatakan demikian karena selain pacing-nya berantakan, film ini juga tidak memberikan kesan epik dan emosional seperti di dua film pertamanya.
Dark Fate tidaklah lebih dari film sci-fi yang dibuat sebagai cash grab saja sehingga, franchise-nya tetap bisa eksis dan relevan hingga detik ini. Namun apabila Chillers menemukan kepuasan ketika menyaksikannya, well, kami turut senang dengan kalian.
2. Star Wars: The Rise of Skywalker
Sebelum lanjut, perlu diingatkan kami membahas poin The Rise of Skywalker sebagai sosok fanboy veteran yang semestinya alias bukan awam. Kalau boleh jujur banget, sebenarnya trilogi baru Star Wars, sebenarnya tidak perlu dibuat sama sekali.
Namun yap seperti hal-nya Terminator, Hollywood merasa “berkewajiban” untuk terus mempertahankan “kelegendarisan” franchise-nya. Ditambah lagi, kini Disney telah mengambil alih sebagian besar franchise milik George Lucas ini.
Jadi dengan kata lain atau seperti yang dinyanyikan oleh grup Pop Swedia legendaris, ABBA: “Money, Money, Money”. Dan tak dipungkiri, trilogi baru Star Wars menjadi mesin pencetak uang belaka bagi Disney.
Namun dalam proses-nya, sukses mengecewakan sebagian besar fanboy yang telah tumbuh bersama franchise-nya sejak cilik. Dan puncak kekecewaannya adalah melalui rilisan episode 9 dari saga Skywalker ini.
Lagi-lagi jujur, sebagai fanboy kami merasa sangat sedih dan kecewa banget selama menyaksikan The Rise of Skywalker. Penutup saga ini memiliki laju (pacing) yang terlalu “kilat” alhasil, membuat filmnya terasa sangat terburu-buru.
Alhasil membuat filmnya yang berdurasi 142 menit, terasa seperti 100 menit. Padahal, film ini harusnya dikisahkan paling tidak selama 175 menit. Faktor ini ditambah lagi dengan beberapa plot-nya yang terasa dipaksakan dan bahkan mengkhianati mitologi franchise-nya.
Spesifiknya dan singkatnya: Palpatine (Ian McDiarmid) dan adegan berciuman Rey (Daisy Ridley) dan Kylo Ren (Adam Driver) di akhir filmnya. Hanya 2 faktor yang menyelamatkan film ini: Performa memukau seluruh aktornya dan, adegan-adegan pertempuran luar angkasanya yang keren.
Memang judul filmnya, Star Wars lebih fokusnya lagi: WARS. Jadi sudah sangat wajar jika adegan pertempuran dan pertarungan yang ditampilkan badass banget. Tapi SW bukanlah sekedar franchise tembak-tembakan blaster, X-Wing, dan adu Lightsaber.
Star Wars pada dasarnya, adalah “sinetron” keluarga Skywalker. Opera sabun. Dan seluruh trilogy Star Wars baru, kurang greget banget dalam menampilkan konsep tersebut.
Oke deh mari kita tutup saja diskusi yang bikin sakit hati ini dan langsung meminta Babu Frik (Shirley Henderson) untuk menghapus total film yang sangat mengecewakan ini dari memori kita.
1. Cats
Apabila ke-9 film sebelumnya di daftar ini setidaknya masih dalam kategori mengecewakan (disappointing), maka adaptasi pentas Broadway yang seluruh musiknya digubah oleh Andrew Lloyd Webber ini, masuk dalam kategori film terburuk di tahun 2019.
Jujur kami bingung, apa gerangan yang membuat Hollywood terdorong untuk memproduksi film ini? Selain tampilan CG yang kasar, keseluruhan plot-nya tidaklah memiliki bobot, makna, atau dampak yang penting sama sekali.
Hal ini semakin membuktikan bahwasanya, tidak semua pentas broadway bisa diadaptasikan begitu saja ke dalam film live-action. Walau seluruh aktorya sudah tampil semaksimal mungkin, tetap saja sesuatu yang sudah rusak berat, tidaklah bisa diperbaiki lagi.
Apabila Chillers masih ingin menyaksikan juga filmnya, kami hanya ucapkan: Selamat berjuang Kawan! Tapi yap, kami sarankan agar uang 30-50 ribu untuk tiket itu lebih baik dialokasikan untuk traktir teman makan di restoran enak saja.
Itulah tadi 10 film yang kami anggap mengecewakan bahkan, buruk di sepanjang 2019. Apakah kamu (sayangnya) sudah menyaksikan 10 filmnya ini?